News Ticker

Kejari Malra siap eksekusi 4 terpidana korupsi di Tual

Kepala Kejaksaan Negeri Maluku Tenggara, Benny Ratag, SH, MH membantah jika pihaknya lalai dalam menjalankan fungsi sebagai eksekutor terhadap sejumlah terpidana korupsi yang hingga kini masih berkeliaran di Kota Tual.
Share it:
Foto Ilustrasi
Tual, Dharapos.com
Kepala Kejaksaan Negeri Maluku Tenggara, Benny Ratag, SH, MH membantah jika pihaknya lalai dalam menjalankan fungsi sebagai eksekutor terhadap sejumlah terpidana korupsi yang hingga kini masih berkeliaran di Kota Tual.

"Kami di sini tidak akan pernah melalaikan tugas. Kalau memang sudah memenuhi aturan untuk dia harus di eksekusi maka kita akan eksekusi dan tidak ada kepentingan di sini," tegasnya kepada media ini, saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, Jumat (13/7/2018).

Perlu diketahui, ada 4 terpidana kasus korupsi Pembuatan Taman, Lantai Halaman serta Lahan Parkir Kantor DPRD Kota Tual masing-masing Fredryk Sahilatua yang divonis 2 tahun penjara, Imam Badir Tamherwarin (2 tahun), dan Muhammad Irwan Tamher (2 tahun) hingga saat ini belum juga dieksekusi Jaksa Penuntut Umum Kejari Malra.

Keempat telah divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Ambon  pada 17 Januari 2017.

Sebenarnya ada 5 nama yang diputus bersalah dalam kasus ini, namun salah satunya atas nama Monce Renfaan, mantan Sekwan DPRD Kota Tual yang juga diputus 2 tahun penjara, telah dieksekusi ke Lapas Ambon pasca vonis putusan dibacakan.

Tiga terpidana masing-masing Fredryk Sahilatua, Imam Badir Tamherwarin dan Muhammad Irwan Tamher, sesuai keterangan pegawai PN Tipikor Ambon, Ricky Satumalay, tidak melakukan upaya banding.

Sedangkan satunya lagi atas nama Hamdi Tamher, divonis 4 tahun penjara setelah upaya bandingnya ditolak Pengadilan Tinggi Ambon.

Awalnya, pada proses persidangan di tingkat PN Tipikor Ambon, Hamdi Tamher divonis 2,5 tahun.

Meski upaya bandingnya di tolak, ia memutuskan tak melanjutkan upaya hukum Kasasi ke
Mahkamah Agung dan sebaliknya menerima vonis yang diputuskan PT. Ambon selama 4 tahun penjara dan dikenakan denda Rp200 juta atau subsider 4 bulan penjara.    

Kajari mengungkapkan ini adalah satu rangkaian perkara dari tahun 2014 yang dalam prosesnya sudah pada tingkat  putusan. Dan untuk melaksanakan putusan atau eksekusi itu tentunya harus ada dasar putusan peradilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri.

"Yang terjadi pada kasus ini, coba di garis bawahi bahwa yang kami terima putusannya baru satu orang  dan itu sudah dilakukan eksekusi oleh Kejaksaan Negeri Maluku Tenggara pada beberapa waktu yang lalu," cetusnya

Kajari kembali menegaskan bahwa dasar dari pada penuntut umum untuk melaksanakan eksekusi suatu perkara itu adalah putusan Pengadilan.

"Jadi sampai dengan hari ini pun untuk putusan yang sudah inkrah itu (4 terpidana, red)  belum diterima secara resmi di Kejaksaan Negeri Maluku Tenggara. Itu yang harus di garis bawahi, supaya jangan sampai salah pemahaman atau sengaja mau memperuncing suasana," tegasnya.

Kajari menegaskan jika pihaknya tidak akan lalai dalam melaksanakan tugas sebagai eksekutor.

"Kalau memang dia harus di eksekusi maka kita akan eksekusi dan tidak ada kepentingan di sini," kembali tegasnya.

Jadi, lanjut Kajari, untuk tindak lanjutnya pihaknya menunggu putusan yang sudah dilaksanakan termasuk menyangkut surat-surat yang diperlukan, masih berkoordinasi dengan pihak Pengadilan.

"Dan kemarin itu, tanggal 10 Juli dari Kasie Pidsus sudah mengupayakan walaupun masih kopian, mereka sudah dapat putusannya. Dan saya sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Maluku Tenggara baru mengetahui bahwa sudah ada putusan walaupun itu diupayakan sendiri oleh Kasie Pidsus dan sudah masuk sebagai surat masuk untuk ditindak lanjuti," sambungnya.

Kajari menegaskan pula sebagai pimpinan tentunya dirinya sudah melaksanakan kewenangan sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Malra memerintahkan supaya segera dilakukan eksekusi.

"Jadi nanti kan untuk pelaksanaan di lapangan kita akan lihat apakah memang ada masalah atau ada hambatan? Tentunya kita akan lakukan sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku," tandasnya.

Disinggung soal surat resmi dari PN Ambon ke Kejari Malra, Kajari mengakui belum menerimanya.

"Jadi, putusan yang diperoleh untuk dijadikan dasar eksekusi adalah merupakan kopian yang di upayakan oleh Kasie Pidsus dari PN Tipikor Ambon. Itu yang menjadi dasar bagi saya untuk perintah supaya segera dilakukan eksekusi," cetusnya lagi.

Kajari juga mengaku menyesalkan adanya pemberitaan yang diekspos ke masyarakat yang dinilainya merugikan pihaknya.

"Itu kadang-kadang merugikan Kejaksaan karena tanpa konfirmasi dan tanpa tahu apa permasalahannya sudah langsung di ekspos ke masyarakat," sesalnya.

Sebaiknya menurut Kajari, kalau tujuannya untuk sama-sama membangun daerah ini maka media harusnya lebih mempunyai sikap yang tidak memprovokatif masyarakat.

"Apalagi sesuatu yang disampaikan kepada masyarakat itu seolah-oleh merendahkan martabat dari institusi Kejaksaan itu sendiri," tutupnya.

Dalam pemberitaan sebelumnya, media ini menyoroti keberadaan sejumlah terpidana korupsi di Maluku khususnya di Kota Tual yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran meski putusannya telah inkrah.

Betapa tidak, kondisi ini cukup mengejutkan publik dimana para terpidana ini malah bebas menjalankan aktivitasnya tanpa pernah takut dieksekusi.

Bahkan aroma "ATM berjalan" pun sangat terasa begitu kuat berhembus dibalik melenggangnya para terhukum ini.

Sebagaimana data yang berhasil di himpun dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Ambon, terungkap sejumlah nama terpidana yang vonisnya diketahui telah inkrah namun belum juga dieksekusi pihak Kejaksaan Negeri Maluku Tenggara (Malra) selaku eksekutor.

Salah satunya, pada kasus korupsi Pembuatan Taman, Lantai Halaman serta Lahan Parkir Kantor DPRD Kota Tual.

Sebenarnya ada 5 nama yang diputus bersalah dalam kasus ini.

Namun salah satunya atas nama Monce Renfaan yang diputus 2 tahun penjara, atas kesadaran diri sendiri menyerahkan dirinya untuk dieksekusi ke Lapas Nania pasca vonis putusan dibacakan oleh Majelis Hakim PN Tipikor Ambon, 17 Januari 2017.

Sementara ke empat terpidana lainnya masing-masing Fredryk Sahilatua yang divonis 2 tahun penjara, Imam Badir Tamherwarin (2 tahun), dan Muhammad Irwan Tamher (2 tahun) hingga saat ini belum juga dieksekusi Jaksa Penuntut Umum Kejari Malra.

Ketiganya, sesuai keterangan pegawai PN Tipikor Ambon, Ricky Satumalay, mengutip dari laman situs resmi lembaga tersebut tidak melakukan upaya banding.

Sedangkan satunya lagi atas nama Hamdi Tamher, divonis 4 tahun penjara setelah upaya bandingnya ditolak Pengadilan Tinggi Ambon.

Awalnya, pada proses persidangan di tingkat PN Tipikor Ambon, Hamdi Tamher divonis 2,5 tahun.

Meski upaya bandingnya di tolak, ia memutuskan tak melanjutkan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung dan sebaliknya menerima vonis yang diputuskan PT. Ambon selama 4 tahun penjara dan dikenakan denda Rp200 juta atau subsider 4 bulan penjara.    

Perlu diketahui, Jaksa Penuntut Umum dalam kasus ini bernama Chrisman Sahetapy, SH, MH dari Kejari Malra.

Terpisah, Monce Renfaan dalam pernyataannya yang diterima media baru-baru ini, mengaku hanya dirinya dalam kasus korupsi yang terbukti merugikan negara Rp 167 juta ini telah dieksekusi dan sementara menjalani vonis hukuman kurungan di Lapas Klas II Nania, Kota Ambon.

Sedangkan ke 4 tersangka lainnya, menurut pengakuannya, belum pernah dieksekusi ke Lapas Nania.

Sementara itu, pihak Kejari Malra dalam hal ini, JPU Chrisman Sahetapy yang dikonfirmasi media ini melalui telepon maupun pesan singkat hingga Minggu (8/7/2018) tak juga merespons atau membalas pesan singkat meski telepon selulernya dalam kondisi aktif.

Begitu pula, upaya konfirmasi yang sama dilakukan kepada Kasie Intel Kejari Malra, Hasta namun hingga Minggu (8/7/2018) tak juga meresponsnya.

Sedangkan Kepala dan Kasie Pidsus Kejari Malra belum berhasil dihubungi terkait persoalan ini.

Terhadap fakta ini, Ketua LSM Tunkor Drs. Nardy Refra yang mintai tanggapannya mengaku heran dan terkejut dengan sikap Kejari Malra yang tak melaksanakan putusan PN Tipikor Ambon.

Ditegaskannya, bahwa wajib hukumnya, Kejari Malra selaku eksekutor atas kasus ini mengeksekusi para terpidana yang putusannya telah inkrah baik oleh Majelis Hakim di tingkat PN, PT maupun MA dan tidak ada alasan untuk tidak dilaksanakan.

"Kita cukup terkejut dengan terungkapnya fakta ini, apalagi putusan inkrahnya sudah turun sejak 17 Januari 2017. Satu setengah tahun lalu hingga hari ini tidak dieksekusi, ada apa ini?" tanya Refra.

Untuk kasus ini, Refra mengaku mencium adanya aroma "ATM Berjalan" oleh oknum penegak hukum terhadap para terpidana.

"Aroma adanya setoran rutin dari terpidana sangat dimungkinkan sekali, karena JPU dalam kasus ini tidak punya alasan untuk tidak melakukan eksekusi sebab ini menyangkut pelanggaran aturan hingga reputasi dan nama baik institusi penegak hukum maupun citra pribadinya yang harus dia jaga," bebernya.

Ia juga mengaku heran atas sikap Kepala Kejari Malra maupun Kasie Pidana Khusus yang terkesan tak tahu menahu tentang berkeliarannya sejumlah terpidana yang telah di vonis inkrah di wilayah hukumnya.

Refra kemudian mendesak para terpidana harus dieksekusi secepatnya.

"Jika tidak juga dilakukan maka saya akan laporkan hal ini ke Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan RI," ancamnya.

Sebelumnya, Majelis hakim Tipikor pada kantor Pengadilan Negeri Ambon masing-masing R.A Didi Ismiatun didampingi Christina Tetelepta dan Bernard Panjaitan menjatuhkan vonis dua tahun penjara terhadap empat dari lima orang terdakwa korupsi dana proyek pembuatan taman, lantai halaman, serta lahan parkir kantor DPRD kota Tual tahun anggaran 2014 dan 2015.

Vonis tersebut dibacakan pada persidangan di Ambon, Selasa (17/1.2017), dengan agenda pembacaan putusan majelis.

Kecuali untuk terdakwa Hamdi Tamher selaku rekanan dalam proyek tersebut dijatuhi hukuman penjara selama 2,5 tahun, denda Rp50 juta subsider satu bulan kurungan dan membayar uang pengganti senilai Rp167 juta.

(dp-16/40)
Share it:

Hukum dan Kriminal

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi