News Ticker

Pengamat : 9 Jaksa Calon Tersangka Dugaan Rekayasa Alat Bukti Kasus Korupsi di Maluku

Perjuangan mantan Aparatur Sipil Negara Kota Tual, Provinsi Maluku Aziz Fidmatan dalam mencari keadilan atas rekayasa terhadap kasus korupsi yang meni
Share it:

Foto Ilustrasi

Ambon, Dharapos.com - Perjuangan mantan Aparatur Sipil Negara Kota Tual, Provinsi Maluku Aziz Fidmatan dalam mencari keadilan atas rekayasa terhadap kasus korupsi yang menimpa dirinya sejak 2012 lalu hingga berujung vonis penjara 2 tahun (2016 - 2018) dan pemberhentian tidak dengan hormat (2019) tidak pernah surut.

Keputusan mantan Kepala Dinas Perhubungan Kota Tual ini mengajukan sengketa ke peradilan Komisi Informasi (KI) Provinsi Maluku sejak awal 2021 guna mengungkap fakta atas keberadaan 2 alat bukti utama perkara korupsi SMA Tayando Tam Kota Tual kini mulai membuahkan hasil.

Persidangan yang digelar di ruang sidang PN Ambon sejak Agustus hingga Desember 2021 dengan menghadirkan sejumlah dokumen, para saksi hingga pemeriksaan setempat dan penyampaian kesimpulan merincikan secara jelas status 2 surat perjanjian yang disengketakan itu.

Pertama, surat perjanjian yang ditandatangi Oktober 2008. Rujukannya bermula dari Surat Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan Provinsi Maluku No : 425.11/833/08 tertanggal 12 Oktober 2008, perihal Pembangunan USB SMA Negeri Tayando Tahun 2008.

Oleh Wali Kota Tual, kemudian dikeluarkan disposisi tertanggal 14 Oktober 2008 Nomor Agenda : 949, Nomor Kode : 425-11 memerintahkan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga setempat Saifudin Nuhuyanan untuk membentuk panitia yang diketuai Akib Hanubun dan Aziz Fidmatan sebagai Bendahara dan disahkan dengan SK Wali Kota Tual Nomor : 421.3/SK/28/2008 tentang Pembentukan Panitia Pembangunan Unit Sekolah Baru (PP-USB) SMA Kecamatan Tayando Tam Kota Tual TA 2008 tertanggal 15 Oktober 2008.

Panitia yang telah dibentuk ini kemudian diperintahkan ke Ambon untuk menandatangani surat perjanjian pembangunan USB SMA Tayando Tam pada minggu keempat Oktober 2008.

Fakta lainnya, PPK pada proyek ini sesuai bukti dokumen yaitu Syukur Moni.

Kedua, Surat Perjanjian Penggunaan Dana (SP2D) tertanggal 27 Juni 2008 Nomor: 03/PPPM.SMA/USB/2008.

Meski ditandatangani 27 Juni 2008 namun rujukannya mengacu pada berkas dokumen yang diterbitkan September dan Oktober 2008.

Diantaranya, Akib Hanubun yang baru diangkat sebagai ketua panitia pada Oktober 2008 namun di SP2D 27 Juni 2008 ini, Akib sudah menjabat sebagai ketua panitia. Kemudian pada SP2D 27 Juni 2028 ini juga tertera no. rekening panitia pembangunan SMA Tayando yang baru dibuka pada September 2008.

Fakta lainnya, PPK pada SP2D ini adalah B. A. Jamlaay.

Untuk diketahui, SP2D tertanggal 27 Juni 2008 inilah yang kemudian digunakan sebagai alat bukti utama oleh 9 orang Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tual untuk memproses hukum 4 panitia pembangunan SMA Tayando Tual hingga berujung vonis 2 tahun penjara.

Terkait fakta persidangan dan sejumlah dokumen yang terungkap, salah satu pengamat hukum di Maluku menyoroti kinerja 9 Jaksa yang memperkarakan kasus korupsi ini.

“Dari fakta-fakta yang ada jelas 9 Jaksa ini calon tersangka dugaan rekayasa alat bukti kasus korupsi pembangunan SMA Tayando Kota Tual,” tegasnya kepada media ini, Sabtu (18/12/2021).

Sumber yang meminta namanya tidak dipublis ini kemudian menjelaskan alasannya. Dimana menurutnya, tindakan 9 Jaksa ini dalam melakukan proses penyelidikan, penyidikan atas perkara korupsi pembangunan USB SMA Negeri Tayando Kota Tual hingga penuntutan di Tahun 2016 merupakan bentuk dari extraordinary action.

Extraordinary action dimaksud yaitu tindakan yang telah menyimpang dari kaidah-kaidah hukum dan pihak-pihak yang menangani perkara tersebut sebagai  tindak pidana luar biasa atau extraordinary crime.

Extraordinary action ini sudah merupakan perbuatan yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).

“Sistematisnya itu dimana? Sistematis itu dilakukan karena melibatkan struktur yang ada, yakni oknum APH tersebut merancangkan dari sejak semula bahwa PPK pada proyek USB SMA Tayando adalah B. A. Jamlaay yang seharusnya itu adalah Syukur Mony. Itu berarti mereka sudah mengalihkan atau displit orangnya. Jaksa kemudian menjadikannya sebagai alat bukti hingga ke pengadilan, itu artinya tindakan yang luar biasa (extraordinary action),” bebernya.

Oleh karena sudah “terencana secara sistematis“ maka Jaksa membuat dokumen-dokumen pendukung.

“Dokumen-dokumen pendukung itu menurut saya merupakan extraordinary action maka tindakan hukum itu sudah melanggar pasal 263 ayat 1 KUHPidana.  Mereka membuat surat-surat palsu, dan surat palsu itu sebagai bukti hukum  antara lain Surat perjanjian bulan Juni 2008 dimana PPKnya adalah B. A. Jamlaay yang tidak pernah ada sesuai bukti-bukti yang dimiliki dan yang bersangkutan sudah beberkan dalam persidangan Sengketa Informasi Publik di Komisi Informasi Maluku  beberapa waktu lalu. Para jaksa ini turut terlibat dalam urusan pemalsuan dokumen (MoU) ini. Itu bukti hukumnya sudah ada dan fakta hukumnya bukti-bukti itu dihadirkan dipersidangan,” urainya.

Lalu sumber juga menyinggung fakta forensik karena Jaksa membuat surat palsu dan menggunakannya.

“Fakta forensiknya ada bukti (surat) putusan pengadilan sudah inkracht yah. Itu sudah termasuk fakta forensiknya dimana para hakim pun ada didalamnya. Nah, fakta forensik membuktikan bahwa pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP itu benar-benar memenuh syarat untuk dilaporkan,” tegasnya.

Sumber menambahkan perbuatan 9 Jaksa tersebut memang benar-benar dilakukan secara terencana (TSM) dan dua unsur tindak pidana sudah terpenuhi karena buktinya jelas bahwa ada surat yang sebenarnya tidak pernah ada. Kemudian perencanaan dari mereka sudah ada (mens rea) yakni dengan mendatangi B. A. Jamlaay untuk minta pengesahan.

“Mereka (jaksa) berencana untuk meminta melegalisir sesuatu dokumen yang seharusnya tidak pernah ada kemudian menjadi ada. Kalau mereka itu bersembilan maka pasal 263 ayat 1 dan 2 dikenakan dan juga pasal 55 KUHPidana turut serta beramai-ramai dan sendiri-sendiri. Jadi tidak ada disitu siapa turut serta, mereka semua adalah pelaku utama,” kembali tegasnya.

Sumber pun mendesak Aziz Fidmatan untuk segera melaporkan indikasi rekayasa ini ke Polda Maluku.

Untuk diketahui ke 9 Jaksa Kejari Tual yang menangani perkara korupsi SMA Tayando Tual sejak 2012 hingga 2016 lalu masing-masing, Mathys A. Rahanra, SH, MH, Chrisman M.Sahetapy, SH, MH, Heppies M.H.Notanubun, SH, Agung Susanto, SH, Fernando E. F. Partahi, SH, Benny Avalona Surbakti, SH, Bambang Marwoto, SH, Steevan Malioy, SH, dan Akhmad Patoni, SH.

Kasie Penkum Kejaksaan Tinggi Maluku Wahyudi Kareba yang di konfirmasi media ini, Senin (20/12/2021) terkait upaya hukum Fidmatan terhadap 9 Jaksa yang menangani perkara korupsi pembangunan USB SMA Tayando Kota Tual pada 2016 lalu menegaskan soal kewajiban selaku warga negara yang taat hukum.

"Indonesia ini adalah negara hukum maka tentunya kita semua, siapapun dia akan taat pada aturan hukum yang berlaku di negara ini," tegasnya.

Wahyudi menekankan pula, bahwa terkait kewenangan jaksa sebagaimana tupoksinya tentu akan melakukan tugasnya dengan baik.

"Dalam hal ini, Jaksa dalam menangani sebuah perkara, tentu akan dilakukan secara cermat dan teliti serta penuh dengan kehati-hatian," tekannya.

Wahyudi kemudian merincikan pedoman Jaksa dalam mengusut sebuah perkara mengacu pada 5 unsur penting yaitu alat bukti saksi, surat, petunjuk, keterangan saksi ahli dan terdakwa.

“Ini unsur penting yang menjadi pedoman jaksa mengusut sebuah perkara,” tukasnya.

Sebelumnya, Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol. M. Roem Ohoirat menyatakan kesiapan pihaknya menindaklanjuti putusan Komisi Informasi (KI) Provinsi Maluku atas penggunaan alat bukti palsu dalam perkara korupsi SMA Tayando Tual jika terbukti nanti.

Penegasan tersebut disampaikannya, saat dihubungi melalui telepon selulernya, belum lama ini.

“Bila sudah diputuskan dalam persidangan bahwa alat bukti itu palsu maka Polda Maluku siap tindaklanjuti melalui proses sesuai Undang-undang dengan sangkaan membuat surat palsu dan atau menggunakan surat palsu,” tegasnya.

Kabid Humas menambahkan, jalan yang ditempuh saudara Aziz Fidmatan dengan mengajukan sengketa ke KI Provinsi Maluku itu sudah benar.

“Jadi biarlah itu berproses di KIP dulu, nanti kalau sudah selesai baru kami tindaklanjuti,” janjinya.

Perlu diketahui, Aziz Fidmatan telah melaporkan indikasi rekayasa ini ke Polres Malra sejak 2018 lalu dengan Laporan Polisi No : STPL/183/VIII/2018/Maluku/ Res Malra.

Penyelidikan atas kasus yang dilaporkan Fidmatan masih berlangsung hingga saat ini. Hal itu ditandai dengan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penelitian Laporan (SP2HP) tertanggal 10 Oktober 2021.    

Perlu diketahui, proyek swakelola pembangunan USB SMA Negeri Tayando Tual TA 2008 bersumber dari dua mata anggaran yaitu Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) melalui Dana Block Grand Dinas Pendidikan Kebudayaan Provinsi Maluku dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Tual melalui Dana Sharing sebesar 25 persen.

Total Dana APBN yang dikucurkan sebesar Rp1.24 Miliar dimana Rp910 juta diperuntukan bagi konstruksi. Sementara dana sharing Pemkot Tual adalah 25 persen sebesar Rp310 Juta.

Pengerjaan proyek USB SMA Tayando ini dimulai 2009 yang diawali dengan pembentukan panitia pembangunan oleh Pemerintah Kota Tual pada 2008.

Kemudian ditindaklanjuti dengan menandatangani perjanjian kerja sama (MoU) antara pihak Dinas dan Panitia Pembangunan pada Oktober 2008 di Ambon.

Singkatnya, dalam proses pengerjaan proyek tersebut menyisakan beberapa item seperti rabat, WC dan saluran got yang belum rampung 100 persen karena terkendala kekurangan anggaran.

Penyebabnya, Pemkot Tual tidak juga melakukan kewajibannya mencairkan dana sharing Rp310 juta sesuai perjanjian meski sudah dilakukan upaya permintaan oleh panitia.

Meski begitu, USB SMA Tayando Tam sendiri telah memberikan manfaat pada masyarakat setempat sejak 2010 lalu hingga saat ini dengan menghasilkan lulusan beberapa angkatan dan kini diketahui banyak yang berhasil dalam karier baik sebagai ASN, pengusaha maupun profesi lainnya.

Karena dana sharing tak kunjung-kunjung dicairkan, Panitia Pembangunan akhirnya merogoh kocek sendiri sebesar Rp171 juta lebih untuk menyelesaikan item tersisa pada 2015 lalu.

Anehnya, meski menggunakan uang pribadi demi menutupi ingkar janji Pemkot Tual yang tak kunjung mencairkan dana sharing Rp310 juta, panitia malah diperkarakan dengan tuduhan melakukan korupsi anggaran pembangunan USB SMA Negeri Tayando Kota Tual pada 2016 hingga berujung vonis 2 tahun penjara.

Parahnya lagi, hingga bebas dari penjara pada 2018 pun panitia bingung, uang negara mana yang dikorupsi karena anggaran pribadi mereka yang dipakai selesaikan sekolah.

Lebih apesnya lagi, setelah kembali aktif sebagai PNS, 2 mantan terpidana malah dipecat Wali Kota Tual Adam Rahayaan merujuk pada SKB 3 Menteri.

Fidmatan kemudian mempersoalkan dokumen surat perjanjian (MoU) pada proyek pembangunan USB SMA Tayano Tual 2008 yang kemudian menjadi alat bukti utama dalam kasus yang menjeratnya.

Pasalnya, berdasarkan bukti dokumen dan fakta-fakta yang dimiliki Fidmatan bahwa pengerjaan pembangunan USB SMA Tayando Tual mengacu pada MoU yang diterbitkan bulan Oktober 2008.

Anehnya, saat proyek ini diperkarakan ke Kejaksaan Negeri Tual pada 2012 lalu hingga kemudian inkrah 2016, alat bukti utama MoU yang digunakan para Jaksa untuk menjerat panitia pembangunan adalah terbitan Juni 2008.

Tak terima atas indikasi rekayasa kasus hukum yang dialaminya, Fidmatan langsung mengambil langkah.

Dengan mengacu pada sejumlah dokumen penting yang ia miliki, Fidmatan kemudian mengajukan sengketa ke KIP Maluku guna mendapatkan kepastian hukum atas keberadaan 2 dokumen dimaksud.

Pasalnya, surat perjanjian terbitan 27 Juni 2008 ini digunakan oleh tim Jaksa Kejaksaan Negeri Tual dalam memproses perkara korupsi pembangunan USB SMA Tayando.

Meski telah dibantah dalam persidangan terkait MoU dimaksud, namun para Hakim tak bergeming dan tetap memutus hukuman penjara selama 2 tahun potong masa tahaan.

Para Hakim pengadil dalam perkara ini akhirnya terbukti telah melanggar kode etik dan perilaku hakim saat memutus perkara Nomor : 01/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Amb dan Nomor : 08//Pid.Sus-TPK/2016/PN.Amb.

Sidang Pleno Komisi Yudisial RI, bertempat di Jakarta pada hari Rabu, 8 April 2020 dan Senin, 13 April 2020 masing-masing dihadiri 7 orang anggota KY RI sebagaimana petikan putusan yang diterima media ini, memutuskan hakim atas nama,

1. Alex T. M. H. Pasaribu, SH, MH (jabatan saat ini sebagai Wakil Ketua PN Sibolga)

2. R. A. Didi Ismiatun, SH, M.Hum (Hakim PN Ambon)

3. Edy Sepjengkaria, SH, CN, MH (Hakim Ad Hoc Tipikor PN Ambon)

Terbukti melanggar angka 8 dan 10 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/V/2009/-02/SKB/P.KY/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim jo. Pasal 12 dan Pasal 14 Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/SKB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Adapun sanksi yang diterima para “Wakil Tuhan” ini mulai dari teguran tertulis hingga penghentian gaji selama satu tahun.

Angka 8 dan 10 sebagaimana poin yang dilanggar Hakim perkara SMA Tayando 10 mengutip Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI Nomor 047/KMA/SKB/V/2009/-02/SKB/P.KY/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yaitu : Berdisiplin Tinggi (poin 8) dan Bersikap Profesional (poin 10).

Petikan putusan diterima terpidana pada 31 Agustus 2020.

(dp-16)

Share it:

Utama

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi