News Ticker

Mathilda Batlayeri, Sang Pahlawan Bhayangkari Yang Patut Bergelar Pahlawan Nasional

Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) pada tahun lalu, telah memulai pembangunan Monumen Mathilda Batlayeri di depan pintu masuk bandara baru Saumlaki yang terletak di petuanan milik masyarakat Amtufu atau warga desa Lorulun dan desa Tumbur kecamatan Wertamrian.
Share it:
“Kepada Penerusku, Aku Bhayangkari dan Anak-anakku Terkapar Di Sini, di Bumi Kurau Yang Sunyi, Semoga Pahatan Pengabdianku Memberi Arti pada Ibu Pertiwi”
Monumen Mathilda Batlayeri
Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) pada tahun lalu, telah memulai pembangunan Monumen Mathilda Batlayeri di depan pintu masuk bandara baru Saumlaki yang terletak di petuanan milik masyarakat Amtufu atau warga desa Lorulun dan desa Tumbur kecamatan Wertamrian.

Pembangunan monumen ini dilakukan seiring dengan telah adanya penetapan nama bandara tersebut dengan nama Bandara Udara Mathilda Batlayeri Saumlaki.

Peletakan batu pertama monument itu dilakukan oleh Gubernur Maluku saat itu, Karel Albert Ralahalu, dan Bupati MTB Drs. Bitzael S. Temmar, dan direncanakan bakal diresmikan oleh pimpinan Polri dalam bulan Agustus ini.

Niat baik Pemkab MTB ini merupakan langkah guna mengabadikan nama Mathilda Batlayeri – pahlawan Bayangkari asal MTB sekaligus dalam upaya untuk memperjuangkan pengusulan Mathilda Batlayeri sebagai Pahlawan Nasional kepada Pemerintah Pusat.

Gagasan lain yang bakal dilakukan adalah Pemkab MTB juga berinisiatif untuk menulis kembali sejarah lengkap perjuangan Mathilda Batlayeri untuk dijadikan buku.

Gagasan membangun monumen, menulis buku, dan penamaan salah satu ruas jalan  di kota Saumlaki adalah sebuah langkah legal yang patut diberi apresiasi.

Memang benar, oleh karena nyaris tak ada referensi tentang Mathilda Batlayeri sehingga wajar saja jika sebagian besar masyarakat di daerah Tanimbar yang belum mengetahui siapa itu Mathilda Batlayeri yang sebelumnya telah ditetapkan oleh Kepolisian Negera Republik Indonesia sebagai “Pahlawan Bayangkari Teladan”.

Penulis mencoba mengambil sejumlah referensi terkait Mathilda Batlayeri sang pahlawan Bayangkari Teladan untuk dimuat dalam tulisan ini, seperti blogspot  resmi Komisi Kepolisian RI dan juga  termasuk mewawancarai Sekretaris Daerah MTB Mathias Malaka,SH.,M.TP dan sumber lain.

Mathilda adalah anggota bhayangkari. Ia menikah dengan Adrianus Batlayeri, tahun 1944.   Adrianus masuk Polisi saat Polri berdiri dan melakukan penerimaan anggota pertama kali.

Saat bertugas di Kurau Kewedanaan Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Adrianus berpangkat Agen Polisi II.
Sebagai istri polisi, Mathilda tinggal di asrama mengasuh tiga anaknya yang masih kecil.  Waktu itu, tahun 1953 tiga anak lelakinya Alexander Batlayeri, berusia 9 tahun, Lodewijk Batlayeri 6 tahun, dan Max Batlayeri 2,5 tahun.  Mathilda pun sedang mengandung janin dalam kandungannya, jadi aktivitasnya hanya di dalam asrama.

Di Kalimantan Selatan, pada tahun 1950, ada seorang tokoh bekas pejuang yang gigih melawan Belanda.

Orang tuanya memberi nama Angli, tetapi dia dikenal sebagai Haderi Bin Umar, dan paling popular sebagai Ibnu Hadjar.  Nama Ibnu Hadjar sesungguhnya adalah nama samaran untuk mengelabui pihak Belanda.

Ibnu Hadjar pernah menjadi anggota TNI dan berpangkat Letnan Dua. Tapi dia kemudian melakukan pemberontakan dengan kelompoknya yang dinamakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT).

Dia pun menyatakan bagian dari perjuangan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo.

Aksi lapangan yang dilakukan kelompok Ibnu Hadjar adalah menyerang pos militer di Kalimantan Selatan.
Kala itu, Rabu dinihari, 28 September 1953, Adrianus bangun dari tidur dan pergi ke sumur. Maklum saat itu tak ada instalasi air bersih.  Polisi pun mengambil air dari luar asrama. Mathilda sudah bangun, dan ketiga anaknya masih dalam keadaan tertidur pulas.

Saat Adrianus ke sumur itulah, tiba-tiba datanglah sebuah serangan pasukan bersenjata yang tidak lain adalah kelompok KRyT pimpinan Ibnu Hadjar.

Sekitar 50 orang anggota KRyT menyerang dengan senjata api.  Beberapa di antaranya membawa pula pedang di tangan.

Dalam keadaan itu, di pos polisi sekaligus asrama, hanya terdapat lima anggota polisi.  Baku tembak yang tidak berimbang pun terjadi antara lima polisi dan 50-an anggota KRyT.

Mathilda cemas sekali melihat hanya lima polisi yang bertahan, sedangkan suaminya Adrianus tidak bisa kembali ke asrama karena posisi sumur dan asrama sudah ditempati pasukan KRyT.

Timbullah inisiatif Mathilda.  Dia masuk ke kamar, mengambil senjata jenis moser milik suaminya.  Mathilda langsung melibatkan diri dalam baku tembak itu. Mathilda bahkan menembak rubuh pimpinan penyerangan bernama Suwandi yang dikabarkan punya ilmu kebal dan tidak bisa tembus pelor.

Meskipun Mathilda sudah berusaha membantu lima anggota polisi, namun lawan yang jumlahnya lebih banyak dan tembakan membabi buta, membuat anggota-anggota polisi itu gugur.

Bahkan, asrama polisi yang bukan bangunan permanen itu juga tertembus hujan peluru.  Lima anggota polisi dan ketiga putra Adrianus-Mathilda tertembak di dalam rumah dan tewas seketika.

Pertempuran selama satu setengah jam itu menjadi tidak seimbang sebab pada akhirnya Mathilda harus berjuang seorang diri.  Dengan janin dalam kandungan dan lawan yang lebih banyak, Mathilda akhirnya tertembak.  Pasukan KRyT langsung membumihanguskan pos dan asrama,  Jenazah Mathilda yang sedang mengandung bersama ketiga puteranya hangus terpanggang dalam kobaran api.

Tiga puluh tahun setelah peristiwa heroik itu, organisasi Bhayangkari Pusat memberi penghargaan kepada Mathilda Batlayeri tahun 1983 berupa penghargaan Medali Melati sebagai pahlawan Bhayangkari.

Bersamaan dengan tahun itu pula, Kapolda Kaltengsel Brigjen Pol M. Sanusi yang kemudian menjadi Kapolri membangun monumen untuk mengenang Mathilda Batlayeri.

Monumen mulai dibangun pada 13 Agustus 1983, dan di beri nama Monumen Bhayangkari Teladan Mathilda Batlayeri, yang diresmikan pada hari pahlawan (10 November 1983)  oleh Ketua Umum Bhayangkari atau Istri Kapolri yakni Ny. Anton Soedjarwo.

Pada monumen terdapat relief peristiwa penyerangan Pos dan Asrama Polisi Kurau.  Di situ ada tulisan tulisan yang bunyinya: “Kepada Penerusku, aku bhayangkari dan anak-anakku terkapar di sini, di Bumi Kurau yang sunyi, semoga pahatan pengabdianku memberi arti pada ibu pertiwi”.

Oleh : Simon Lolonlun 
(disadur dari berbagai sumber)


Share it:

Feature

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi