News Ticker

Hingar-Bingar Kemerdekaan Ditengah Jeritan Warga Miskin di MBD

Derap langkah tegap pasukan pengibar duplikat bendera pusaka membuat kagum ribuan pasang mata warga masyarakat di Pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD).
Share it:
Derap langkah tegap pasukan pengibar duplikat bendera pusaka membuat kagum ribuan pasang mata warga masyarakat di Pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD).

Tampilan tersebut terlihat saat upacara bendera memperingati HUT Kemerdekaan RI ke 65 yang dipusatkan di Lapangan Purpura.

Tersirat sebuah kebanggan manakala upacara HUT Kemerdekaan yang digelar di salah satu pulau terluar di Indonesia, khususnya Maluku, apalagi Gubenur Maluku, Karel Albert Ralahalu langsung turun tangan memimpin upacara tersebut.

Suatu hal yang langka yang dirasakan oleh segenap masyaraat MBD.

Namun dibalik hingar-bingar HUT Kemerdekan yang merupakan bagian dari rangakaian kegiatan Sail Banda 2010 di Maluku itu, ternyata ada masyarakat yang belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Mungkin serangkaian acara yang digelar di Pulau Kisar, seperti atraksi perebutan wilayah yang dilakukan pasukan TNI dari Marinir hingga penancapan Bendera Merah Putih di perbatas oleh Gubernur serta pameran dan pesta rakyat, hanya sebuah eforia temporer yang dirasakan masyarakat.

Sebab, setelah itu, mereka akan kembali akan kembali bergulat dengan kemiskinan dan keterbelakangan yang tidak tahu kapan berakhirnya.

Sungutan dan keluhan akan tutuntan hidup yang tidak seimbang dengan ekonomi yang memadai, membuat masyarakat hanya bisa berpasrah diri sambil berharap adanya perhatian dan uluran tangan dari pemerintah agar mereka bisa bangkit dari keterpurukan yang dialami selama ini.

Kondisi inilah yang dirasakan Keluarga Sefnat Kamanasa bersama istrinya, Tenji Kamanasa dengan lima orang anak mereka yang masih bocah, salah satu keluarga miskin di Oirata Barat, Kecamatan Pulau-pulau Terselatan, Kisar-MBD.

Untuk makan saja, mereka harus banting tulang dengan menggarap hasil kebun, bahkan kadangkala mereka harus mencari hidup di laut demi membiayai sekolah anak-anaknya dan makan.

Tak ayal, Sefnat pun terkadang uang kesana-kemari untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya yang semakin hari- semakin mencekik leher.

Tak sampai disitu, tiga dari anaknya yang masih bersekolah, terpaksa harus bergantian pakaian seragam bahkan pakaian sehari-haripun, dipakai dua hingga tiga minggu baru diganti.

Memang sangat memprihatinkan, dan sudah begitu, ketujuh penghuni keluarga ini hanya tinggal di sebuah “Gubuk Derita” yang kalau mau dibilang sangat tidak layak sebagai tempat hunian.

Digubuk seluas 5x6 meter itu, Keluarga Besar Kamanasa tinggal.

Gubuk itu beratapkan daun pohon koli, berdinding anyaman bambu yang fondasinya terbuat dari tanah liat, dengan lantai langsung tanah.

Tak ada perabotan berharga didalamnya, hanya sebuah lemari pakaian yang sudah usang.

Begitu malam tiba, nyala pelita dipakai sebagai penerang agar anak-anak mereka bisa belajar. Kasur berukuran 1,5x1 meter terdapat di ruangan yang pengap itu. Ketika tidur, mereka harus membagi tempat tidur.

“Mau tiodak mau kami harus tidur berdempetan,” ungkap Tenji Kamanas, istri dari Sevnat Kamanasa yang ditemui wartawan di rumahnya.

Hidup dalam kemiskinan sepertinya sudah menjadi hal biasa yang selama ini dirasakan. Apalagi dengan keterbelakangan ekonomi ini, anak-nakanya pun terpaksa sering bolos sekolah.

Keadaan keluarga Sefnat Kamanasa hanya salah satu dari sekian banyak keluarga miskin yang terhampar di pulau perbatasan yang seluas 117,59 kilometer persegi itu.

Tak beda jauh dengan Keluarga Thomas Ratuhaurasa.

Dia mengatakan, bantuan pemerintah seperti beras miskin (raskin) sebanyak 25 kilogram, hanya datang sekali setahun.

Bahkan ketika rawan pangan melilit sejumlah kecamatan di MDB beberapa waktu lalu, pemerintah hanya memberikan empat cupa beras. Apakah itu cukup? Makan seharipun rasa-rasanya tak cukup.

Tak heran jika jumlah masyarakat miskin di Kabupaten MBD masih tinggi, mencapai 57 persen dari jumlah seluruh penduduk yang sebanyak 73 ribu jiwa.

“Untuk makan dan kebutuhan sehari-hari kalau hanya mengandalkan hasil kebun, itu sangat tidak cukup. Terpaksa saya harus melaut mencari ikan dan menjual atau bahkan menukarnya dengan beras,” tutur Thomas.

“Pemerintah hanya bisa katakan sudah berikan bantuan. Itu kata mereka, tapi bantuan yang kami terima, tidak cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” tambahnya.

Di lain tempat, di Desa Nomaha, Kecamatan Pulua-pulau Terselatan-MBD, masyarakat masih mengeluhkan ketersediaan air dan listrik.

Untuk mendapatkan air bersih, warga setempat harus berjalan kaki atau naik kuda sepanjang dua sampai tiga kilometer.

Sementara untuk penerangan listrik, ternyata tiang dan kabelnya sudah terpasang sejak tahun 1995, namun hingga saat ini tak pernah dialiri di rumah-rumah warga.

Mau tidak mau warga terpaksa menggunakan pelita dan lilin.

Hanya beberapa rumah yang sudah ada penerangan, itupun dengan menggunakan tenaga surya untuk kebutuhan satu hingga dua mata lampu.

“Mau bikin apa, kita sudah koordinasikan dengan PLN Sub Cabang Tual, tapi sampai sekarang mereka tak pernah menindaklanjutinya. Yah, mudah-mudahan kedepan air dan listrik bisa kita nikmati. Itupun kalau ada niat baik dari pemerintah,” ungkap Kepala Desa Nomaha, Weinan Reytu.

Untuk masalah transportasi, Caretaker Bupati MBD, Angky Renyaan mengatakan, satu-satunya maskapai penerbangan ada hanya Merpati. Itupun jadwalnya tidak menentu. Begitu pula dengan transportasi laut.

Masalah-masalah seperti ini sejak Kabupaten MBD dimerkarkan dari Kabupaten Indiknya, Maluku Tenggara Barat (MTB) tahun 2008 lalu, belum dapat terselesaikan dengan baik.

Padahal, setiap tahun, dana dari PND Kabupaten MBD diplot sebanyak Rp200 miliar, dan sekitar Rp70 miliar diantaranya, dipakai untuk belanja rutin.

Renyatan juga mengeluhkan soal sering terjadinya gangguan oleh kelompok perampok dan nelayan illegal dari Timor Leste yang mengambil hasil bumi warga. Jadi tidak salah jika persoalan-persoalan ini membuat masyarakat merasa gebyar HUT Kemerdekaan RI dan kemeriahan Sail Banda 2010, hanya pelipur lara sesaat.

Yang dibutuhkan saat ini adalah bukti nyata pemerintah untuk lebih memfokuskan pembangunan utnuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Semoga !!!

Oleh : Melky Soplanit - Jurnalis Maluku
Share it:

Feature

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi