Ketua Yayasan Santa Lusia, Paulus Laratmase |
Johanis D. B. Malindir,
salah satu pemerhati masyarakat adat di Kabupaten MTB menyatakan untuk menyambut beroperasinya blok Masela oleh Inpex Masela Ltd, maka masyarakat adat yang memiliki wilayah adat perlu diakui dan dihormati hak-hak komunalnya. Hal
ini sejalan dengan ketentuan pasal 18 B (2) UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang.
“Kendati saatnya nanti lokasi pengelolaan
Blok Masela tidak membutuhkan jumlah lahan yang banyak tetapi sudah pasti berdampak pada semakin bertambah banyaknya industri lain atau akibat dari
multiplier effect. Dengan demikian lahan masyarakat adat menjadi sangat penting untuk diakui Negara, sehingga nantinya tidak akan ada kesewenangan dalam penggunaan lahan,” kata Johanis di
Saumlaki, Sabtu (10/11/2018).
Dia menyebutkan bahwa dasar pijak ini juga berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) dimana dalam pasal 6 ayat (1) menyebutkan “Dalam rangka penegakan
hak asasi manusia perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan
pemerintah” dan pada ayat (2) lebih diperjelas bahwa, “Identitas budaya
masyarakat hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman”.
Selain itu, berdasarkan
UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Bab I Pasal 1 butir 31 mengatakan, “Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok
masyarakat yang secara turun temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal
usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial dan hukum”.
“Untuk itu, pembentukan Peraturan
Daerah yang mengatur tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat atau Perda PPMHA sudah saatnya dibuat oleh Pemerintah Daerah dan atau DPRD MTB,” tambahnya.
Ketua Yayasan Santa
Lusia, Paulus Laratmase menyatakan UUD 1945 Pasal 33 Ayat (1,2,3) dan UU Nomor 22 Tahun 2001 Pasal
4 (1) secara ekplisit menyebutkan bahwa, “Minyak dan Gas sebagai Sumber Daya
Alam Strategis Tak Terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Namun
hal-hal yang harus diperhatikan dalam praktek eksplorasi dan eksploitasi Sumber
Daya Alam telah diatur dalam Bab IV
Pasal 11 (3) huruf (a s/d q) terutama huruf (p) yang menyatakan,
“Pengembangan Masyarakat Sekitarnya dan Jamininan Hak Masyarakat Adat” di
Wilayah Adat Masyarakat Maluku Tenggara Barat terkait aktifitas Hulu Migas bagi
sebesar besarnya kesejahteraan hidup mereka.
“Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 12 Tahun 2011, maka Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten MTB adalah solusi bagaimana hak-hak masyarakat adat seperti telah dinyatakan secara ekplisit
dalam berbagai regulasi yang sudah dipaparkan di atas, dapat diakomodir berdasarkan
kondisi sosio-kultur masyarakat adat pemilik hak ulayat di Kabupaten MTB,” katanya.
Wakil Ketua DPRD MTB, Piet kait Taborat |
Putra daerah
MTB yang saat ini bekerja sebagai staf dosen di Biak, serta mantan Anggota DPRD di Papua ini menegaskan bahwa jika Perda PPMHA
MTB telah ditetapkan nantinya maka akan menjadi acuan yuridis formal bagi bagaimana kehadiran
perusahaan apa saja di wilayah MTB untuk wajib menaati, menghormati dan menghargai apa yang menjadi hak dan
kewajiban masyarakat adat.
Tentang industri Hulu Migas Kini dan Besok, Paulus menyatakan bahwa kehadiran Perda yang mengatur hal-hal spesifik terkait hak-hak dan kewajiban Pemerintah, perusahaan serta masyarakat adat akan sangat menentukan kelancaran dalam pelaksanaan
proses produksi nantinya.
Berdasarkan pengalamannya
di Papua, banyak konflik terjadi
karena keterlibatan masyarakat adat sangat minim terhadap kehadiran perusahaan
Migas. Konflik material, konflik psikologis, bahkan konflik fisik hingga
jatuhnya korban karena tidak diantisipasi sejak dini dengan aturan-aturan formal yang mengikat semua pihak seperti Pemerintah, pemilik
hak ulayat dan pihak perusahaan.
“Untuk itu, dukungan regulasi daerah berupa Perda akan memberikan kontribusi optimal bagi indusri
Hulu Migas dalam upaya mengeksploitasi sumber daya alam demi sebesar besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia sesuai Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945,” cetusnya.
Paulus
menyarankan kepada DPRD Kabupaten MTB dan atau Pemerintah setempat untuk secepatnya membahas dan menetapkan Perda PPMHA. Dalam Perda tersebut hendaknya dituangkan beberapa hal dalam pasal seperti Ketentuan umum yang memuat definisi subjek dan objek hukum adat di
wilayah MTB, Keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan
atau hak perorangan warga masyarakat
hukum adat atas tanah di MTB, Penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat
dan atau hak perseorangan warga
masyarakat hukum adat di MTB, Pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan
atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat di MTB,
Penyelesaian sengketa hak ulayat
masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga hukum adat atas tanahnya di MTB,
serta Hak dan Kewajiban dalam pembiayaan terhadap
masyarakat hukum adat di MTB serta Sanksi terhadap pelanggaran Perda.
Wakil Ketua DPRD
Kabupaten MTB, Piet KaitTaborat yang dihubungi secara terpisah di
ruang kerjanya mengapresiasi pikiran Johanis dan Paulus.
Dia menyatakan, lembaga
yang terhormat itu sudah mengagendakan pembahasan Perda PPMHA dalam waktu dekat dan pikiran-pikiran ini akan dijadikan sebagai bahan masukan dalam proses
penyusunan dan pembahasan.
“Telah kita bahas dan tetapkan
agenda pembahasan Perda tersebut dalam draf rancangan Badan Musyawarah agenda persidangan DPRD MTB masa sidang I tahun 2018-2019,” katanya.
Piet Kait menyatakan,
rencana pembentukan Perda PPMHA ini telah dibahas beberapa waktu lalu.
Urgensinya adalah diperlukan pengaturan terhadap kondisi sosial, politik dan budaya masyarakat secara baik sehingga tidak dapat mengganggu
proses operasional Blok Masela di masa mendatang.
Selain itu, Perda tersebut diharapkan akan mempengaruhi setiap pemangku kepentingan di
daerah untuk memberikan dukungan dalam iklim sosial, politik dan budaya yang baik terhadap keberlangsungan proses pengelolaan Blok Masela.
“Baru pengajuan judul Ranperda dan draftnya belum karena kita harus melakukan uji publik lagi. Memang kendalanya baru akan dibahas nanti karena belum ada anggaran bagi Badan Pembentukan Peraturan
Daerah bekerja. Yang pasti nanti di bulan Desember 2018 ini sudah dilakukan pembahasan,” tandasnya.
Masukan Komentar Anda:
0 comments:
terima kasih telah memberikan komentar