News Ticker

Pengamat: Pentingnya Perda PPMHA Tanimbar Jelang Beroperasinya Blok Masela

Kehadiran lapangan gas abadi Blok Masela yang terletak di lepas pantai, yaitu di laut Arafura sekitar 155 Km arah Barat Daya Kota Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Provinsi Maluku telah diputuskan oleh Presiden untuk pengelolaannya dilakukan di darat. Dengan demikian, sebagian wilayah di MTB akan menjadi lokasi aktivitas perusahaan tersebut.
Share it:
Ketua Yayasan Santa Lusia, Paulus Laratmase
Saumlaki, Dharapos.comKehadiran lapangan gas abadi Blok Masela yang terletak di lepas pantai, yaitu di laut Arafura sekitar 155 Km arah Barat Daya Kota Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Provinsi Maluku telah diputuskan oleh Presiden untuk pengelolaannya dilakukan di darat.  Dengan demikian, sebagian wilayah di MTB akan menjadi lokasi aktivitas perusahaan tersebut.

Johanis D. B. Malindir, salah satu pemerhati masyarakat adat di Kabupaten MTB menyatakan untuk menyambut beroperasinya blok Masela oleh Inpex Masela Ltd, maka masyarakat adat yang memiliki wilayah adat perlu diakui dan dihormati hak-hak komunalnya. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 18 B (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan  masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang.

“Kendati saatnya nanti lokasi pengelolaan Blok Masela tidak membutuhkan jumlah lahan yang banyak tetapi sudah pasti berdampak pada semakin bertambah banyaknya industri lain atau akibat dari multiplier effect. Dengan demikian lahan masyarakat adat menjadi sangat penting untuk diakui Negara, sehingga nantinya tidak akan ada kesewenangan dalam penggunaan lahan, kata Johanis di Saumlaki, Sabtu (10/11/2018).

Dia menyebutkan bahwa dasar pijak ini juga berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dimana dalam pasal 6 ayat (1) menyebutkan “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia perbedaan dan kebutuhan  dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan  dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah” dan pada ayat (2) lebih diperjelas bahwa, “Identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”.

Selain itu, berdasarkan  UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab I Pasal 1 butir 31 mengatakan, “Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun  bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,  politik, sosial dan hukum”.

“Untuk itu, pembentukan Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat atau Perda PPMHA sudah saatnya dibuat oleh Pemerintah Daerah dan atau DPRD MTB, tambahnya.

Ketua Yayasan Santa Lusia, Paulus Laratmase menyatakan UUD 1945 Pasal 33 Ayat (1,2,3) dan UU Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 4 (1) secara ekplisit menyebutkan bahwa, “Minyak dan Gas sebagai Sumber Daya Alam Strategis Tak Terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Namun hal-hal yang harus diperhatikan dalam praktek eksplorasi dan eksploitasi Sumber Daya Alam  telah diatur dalam Bab IV Pasal 11 (3) huruf (a  s/d  q) terutama huruf (p) yang menyatakan, “Pengembangan Masyarakat Sekitarnya dan Jamininan Hak Masyarakat Adat” di Wilayah Adat Masyarakat Maluku Tenggara Barat terkait aktifitas Hulu Migas bagi sebesar besarnya kesejahteraan hidup mereka.

Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2011, maka Peraturan Daerah (Perda)  Kabupaten MTB adalah solusi bagaimana hak-hak masyarakat adat  seperti telah dinyatakan secara ekplisit dalam berbagai regulasi yang sudah dipaparkan di atas, dapat diakomodir berdasarkan kondisi sosio-kultur masyarakat adat pemilik hak ulayat di Kabupaten MTB, katanya.

Wakil Ketua DPRD MTB, Piet kait Taborat
Putra daerah MTB yang saat ini bekerja sebagai staf dosen di Biak, serta mantan Anggota DPRD di Papua ini menegaskan bahwa jika Perda PPMHA MTB telah ditetapkan nantinya maka akan menjadi acuan yuridis formal bagi bagaimana kehadiran perusahaan apa saja di wilayah MTB untuk wajib menaati, menghormati dan menghargai apa yang menjadi hak dan kewajiban masyarakat adat.

Tentang industri Hulu Migas Kini dan Besok, Paulus menyatakan bahwa kehadiran Perda yang mengatur hal-hal spesifik terkait hak-hak dan kewajiban Pemerintah, perusahaan serta masyarakat adat akan sangat menentukan kelancaran dalam pelaksanaan proses produksi nantinya.

Berdasarkan pengalamannya di Papua, banyak konflik terjadi karena keterlibatan masyarakat adat sangat minim terhadap kehadiran perusahaan Migas. Konflik material, konflik psikologis, bahkan konflik fisik hingga jatuhnya korban karena tidak diantisipasi sejak dini dengan aturan-aturan formal yang mengikat semua pihak seperti Pemerintah, pemilik hak ulayat dan pihak perusahaan.

“Untuk itu, dukungan regulasi daerah berupa Perda akan memberikan kontribusi optimal bagi indusri Hulu Migas dalam upaya mengeksploitasi sumber daya alam demi sebesar besarnya kemakmuran rakyat Indonesia sesuai Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, cetusnya.

Paulus menyarankan kepada DPRD Kabupaten MTB dan atau Pemerintah setempat untuk secepatnya membahas dan menetapkan Perda PPMHA. Dalam Perda tersebut hendaknya dituangkan beberapa hal dalam pasal seperti Ketentuan umum yang memuat definisi subjek dan objek hukum adat di wilayah  MTB, Keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat  hukum adat atas tanah di MTB, Penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat dan  atau hak perseorangan warga masyarakat hukum adat di MTB, Pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat di MTB, Penyelesaian sengketa hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga hukum adat  atas tanahnya di MTB, serta Hak dan Kewajiban dalam pembiayaan terhadap masyarakat hukum adat di MTB serta Sanksi terhadap pelanggaran Perda.

Wakil Ketua DPRD Kabupaten MTB, Piet KaitTaborat yang dihubungi secara terpisah di ruang kerjanya mengapresiasi pikiran Johanis dan Paulus.

Dia menyatakan, lembaga yang terhormat itu sudah mengagendakan pembahasan Perda PPMHA dalam waktu dekat dan pikiran-pikiran ini akan dijadikan sebagai bahan masukan dalam proses penyusunan dan pembahasan.

“Telah kita bahas dan tetapkan agenda pembahasan Perda tersebut dalam draf rancangan Badan Musyawarah agenda persidangan DPRD MTB masa sidang I tahun 2018-2019, katanya.

Piet Kait menyatakan, rencana pembentukan Perda PPMHA ini telah dibahas beberapa waktu lalu.
Urgensinya adalah diperlukan pengaturan terhadap kondisi sosial, politik dan budaya masyarakat secara baik sehingga tidak dapat mengganggu proses operasional Blok Masela di masa mendatang.

Selain itu, Perda tersebut diharapkan akan mempengaruhi setiap pemangku kepentingan di daerah untuk memberikan dukungan dalam iklim sosial, politik dan budaya yang baik terhadap keberlangsungan proses pengelolaan Blok Masela.

“Baru pengajuan judul Ranperda dan draftnya belum karena kita harus melakukan uji publik lagi. Memang kendalanya baru akan dibahas nanti karena belum ada anggaran bagi Badan Pembentukan Peraturan Daerah bekerja. Yang pasti nanti di bulan Desember 2018 ini sudah dilakukan pembahasan, tandasnya.

(dp-18)
Share it:

Berita Pilihan Redaksi

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi