News Ticker

Banyak Pemekaran Kampung Di Papua Tak Sesuai Prosedur

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 39 tahun 2015, jumlah Distrik di Provinsi Papua sebanyak 524 Distrik, untuk kelurahan sebanyak 107 dan jumlah kampung/desa sebanyak 5118.
Share it:
Sendius Wonda
Papua, Dharapos.com
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 39 tahun 2015, jumlah  Distrik di Provinsi Papua sebanyak 524 Distrik, untuk kelurahan sebanyak 107 dan jumlah kampung/desa sebanyak 5118.

Kepala Biro Tata Pemerintah Setda Provinsi Papua, Sendius Wonda mengatakan, jumlah kampung di 29 Kabupaten/Kota se-Provinsi Papua pada tahun 2015 ini mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun sebelumnya.

Dijelaskannya, dalam Permendagri No.18 Tahun 2003, jumlah kampung di Papua hanya 4766 kampung, sementara jumlah kelurahan hanya 90 saja dan jumlah distrik 467 di Provinsi Papua.

“Jadi, dari 5118 kampung itu ada di Kabupaten Lany Jaya dan sebagian dari Kabupaten Keerom,” jelas Wonda, kepada wartawan di ruang kerjanya, Senin (23/3).

 Dia juga menyampaikan, dalam proses pemekaran kampung tanpa persetujuan atau melalui surat dari Gubernur. Akan tetapi para Bupati langsung ke Pemerintah Pusat tanpa melapor di Pemerintah Provinsi, sehingga begitu sampai di Mendagri malah justru menjadi persoalan baru.

“Iya, Kadang-kadang pemekaran kampung ini tidak melalui Gubernur. Dalam artian dari sisi etika kurang bagus. Kemarin saya ke Jakarta, saya katakan kalau memang mau menjaga wibawa pemerintah pusat, mekanismenya harus jalan,”tegas Wonda. 

Secara rinci, dirinya menjelaskan, sesuai kewenangannya, UU Desa No. 6 tahun 2014,  memberikan kewenangan kepada bupati di daerah. Tetapi sesudah dibentuk, maka harus meminta persetujuan atau pandangan Gubernur.

Setelah gubernur memberikan persetujuan, baru diusulkan ke Kemendagri. Prosesnya paling lama  20 hari, setelah menerima rancangan peraturan daerah.

Lebih lanjut, kata Wonda, untuk saat ini wilayah lain di Papua yang masih terbelakang perlu pembinaan serius, apalagi dengan diberlakukannya UU Desa No.6 Tahun 2014.

“Sehingga dalam pengelolaan dana. Ini tidak terjadi kesalahan.  Sebab belajar dari pengalaman sebelumnya aparat kampung begitu dana cair, justru mengambil uangnya dan dibawa kabur ke kota dengan kepentingan yang tidak jelas. Karena dana desa/kampung yang dikucurkan itu adalah dana APBN. Maka seorang kepala kampung dianggap sebagai pengguna anggaran, sehingga pelaporannya tidak main-main,”ungkapnya.

Tetapi jika dana desa/kampung tersebut diarahkan dalam bentuk yang lain, seperti belanja barang dan lain-lain. Maka hal itu perlu diarahkan lagi untuk mengerti bagaimana surat-surat dan proses administrasi lainnya.

(Piet)
Share it:

PAPUA

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi