News Ticker

Kasus Perbudakan Di PT. PBR Terindikasi Rekayasa Asing

Sidang perdana kasus perdagangan manusia atau human trafficking yang diduga dilakukan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku dan sempat menggegerkan dunia telah berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Tual, Senin (16/11).
Share it:
Kantor PT PBR yang berada di pulau Benjina
Kabupaten Kepulauan Aru  
Tual, Dharapos.com
Sidang perdana kasus perdagangan manusia atau human trafficking yang diduga dilakukan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku dan sempat menggegerkan dunia  telah berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Tual, Senin (16/11).

Namun, kini muncul fakta baru terkait adanya indikasi rekayasa oleh permainan pihak asing dalam kasus yang telah menyeret 8 orang tersangka. Dimana, lima diantaranya merupakan WNA sementara sisanya warga negara Indonesia.

Yang lebih mengejutkan lagi, fakta ini terlontar dari mulut Kepala Kejaksaan Negeri Dobo, R. Supriadi dalam perbincangan dengan kru Dhara Pos saat berada di ruang tunggu PN Tual menantikan pelaksanaan sidang perdana kasus tersebut.

Menurutnya, terkait fakta yang terungkap dalam kasus perdagangan manusia yang diduga melibatkan PT. PBR di pulau Benjina, Kepulauan Aru tersebut terindikasi ada unsur rekayasa.

“Setelah mencuatnya persoalan ini, kami selaku pihak  penegak hukum langsung melakukan penelusuran terkait dugaan tindak kejahatan perdagangan manusia yang tuduhkan kepada PT. Pusaka Benjina Resource ternyata tidak kami temukan kesalahan dimaksud,” ungkapnya.

Faktanya, lanjutnya Supriyadi, PT. PBR selama ini telah melaksanakan tanggung jawabnya dengan membayar gaji para karyawannya yang merupakan warga negara asing sesuai dengan kesepakatan kerja sama yang ditandatangani dengan perusahaan asing yang menjadi agen para WNA tersebut diantaranya PT. Silver Sea Fishery dan satu lagi perusahaan lainnya yang kesemuanya perusahaan asing asal Thailand.

“Jadi, setelah kami telusuri tidak ditemukan bukti adanya kelalaian yang dilakukan PT PBR sehingga ada indikasi bahwa kasus ini hanyalah sebuah rekayasa dari perusahaan asing itu sendiri yang secara sengaja mau merusak citra PT. Pusaka Benjina  Resources bahkan merusak nama baik negara Indonesia dimata dunia,” lanjutnya.

Malah, dibeberkan Supriyadi, fakta yang terjadi adalah sebaliknya, dimana perusahaan asing yang sengaja mengeruk keuntungan dengan memotong upah yang  diterima para nelayan WNA dari pembayaran penuh yang dilakukan PT. PBR.

“Bahwa ternyata, manajemen PT. Pusaka Benjina  Resouche telah melaksanakan kewajibannya dengan membayar upah kerja atau gaji sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan. Namun setelah itu,  kedua perusahaan asing tersebut yang melakukan pemotongan kembali  gaji karyawannya. Jadi, sesungguhnya hal ini sengaja direkayasa seolah-olah pemotongan dilakukan PT Pusaka Benjina Resource,” bebernya.

Bahkan, kemudian oleh pihak perusahaan asing tadi terindikasi sengaja mengungkapkan fakta ini ke publik bahwa PT. PBR telah melakukan perbudakan manusia.

“Tuduhan bahwa PT PBR  telah memperbudak karyawan WNA itu seseungguhnya tidak benar,” cetusnya.

Diakui Supriyadi pula, pihak Kejari Dobo telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Maluku  dan juga Mabes Polri, Polda Maluku serta Polres Aru terkait fakta tersebut.

“Makanya dalam waktu dekat, pihaknya akan segera menghadirkan 22 nelayan asing asal Myanmar untuk diminta kesaksiannya terkait dengan kesepakatan gaji yang telah dibayarkan kepada mereka, bahkan juga isu-isu terkait dengan perbudakan,” akuinya.

Lebih lanjut, dijelaskan Supriyadi, bahwa  terkait  pembayaran gaji  kepada karyawan WNA di PT PBR sesuai kesepakatan adalah karyawan kapal tersebut bekerja satu trip  yaitu selama 3 bulan baru masuk perusahaan.

“Jadi gaji mereka bayar setelah menyelesaikan 1 trip selama 3 bulan baru gaji mereka dibayar. Namun karena nelayan WNA ini punya kontrak kerja dengan perusahaan Thailand maka gaji mereka dipotong oleh perusahaan Thailand tadi makanya yang diterima tidak sesuai yang ditentukan, sehingga timbullah permasalahan tadi,” jelasnya.

Dengan demikian, dugaan bahwa PT PBR telah memotong  gaji mereka bahkan yang lain-lain itu sesungguhnya diragukan kebenarannya.

“Nantilah kita lihat setelah dihadirkan 22 orang saksi dari Myanmar maka akan terbuka bahwa siapa yang salah dan  benar dalam persoalan ini,” tukasnya.

Ditambahkan, persidangan kasus ini menghadirkan lebih kurang 17  Jaksa Penuntum Umum, baik dari Kejakgung,  Kejati Maluku, dan juga Kejari Dobo.

“Bahkan dari Mabes Polri, Polda Maluku dan juga Polres Aru, turut mengawal secara ketat proses persidangan kasus  ini dan  di pantau oleh semua sejumlah pihak baik dari dalam negeri, maupun luar Negeri,” tambah Supriyadi.

Diakhir pernyataannya, Supriyadi mengharapkan agar proses persidangan kasus perbudakan dapat berjalan dengan aman dan lancar.

Sidang dipimpin Majelis Hakim PN Tual,  Edy Toto Purba  SH, MH,  Farid H. Sopamena SH, MH, David Fredo CH. Soplanit SH, MH. Dan 3 kuasa hokum/pengacara dari perusahaan masing-masing Sahat Napitupulu, SH, MH, Wilson Renyaan SH,  dan Yopi SH.

Turut di saksikan Diplomat Thailand Mr. Narut Sout Orno Do MMH, dan Sarut Singka Tavanet dengan penerjemah Afandi dari Jakarta.

Sedangkan tim JPU yang telah disiapkan diantaranya Arief Fatchurohman, Aizit Latuconsina, Gerald Salhuteru, Junjungan P. Aritonang, Michael Tambunan, Obrika Yandib Sinbolon, Fredy Dwi Prasetyo Wahyu, Ekaputra Polimpung, Soma Dwipayana, dan Adam Saimima.

Sementara itu, terkait adanya informasi surat dari Komisi Yudisial (KY) yang ditujukan kepada Ketua PN Tual, salah satu staf yang dikonfirmasi meminta namanya tidak dimuat mengaku jika ada surat dari KY  yang di  terima PN Tual  pada Rabu (11/11).

“Namun terkait isinya saya tidak tahu, tapi dugaan saya pasti ada sedikit kaitannya dengan surat pengaduan,” akuinya.

Dikatakan sumber, perlu diketahui bahwa ketentuan terkait UU Kode Etik Hakim yang telah ditetapkan di Bandung pada 30 Maret 2001 khususnya pada pasal 1 menyebutkan tentang kode etik profesi.

“Perlu kita tahu bahwa ketentuan untuk  kode  etik hakim pada pasal satu menyebutkan kode etik profesi hakim adalah aturan tertulis yang baik dalam menjalankann tugas profesinya dan mewujudkan  keadilan dan kebenaran maupun  dalam pergagulan sebagai anggota masyarakat yang harus memberikan contoh  teladan dan kepatuhan  dan keataan kepada hukum,” ucapnya.

Perlu diketahui, tiga dari delapan tersangka human trafficking berkebangsaan Indonesia antara lain Hermanwir Martino, Mukhlis Ohoitenan, dan Yopi Hanorsian.

Terdakwa lain yang merupakan warga negara asing adalah Surachai Maneephong, Boonsom Jaika, Youngyut Nitwongchaeron, Hatsaphon Phaethajreng, dan Somohit Korraneesuk.

Para terdakwa dijerat melanggar Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidana penjualan orang atau human trafficking.

(dp-20)
Share it:

Utama

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi