News Ticker

Niat Baik Aparatur Sering Terkendala Dalih Penegakan Hukum

Fakta adanya penegak hukum yang mencari cari kesalahan aparat lain dengan dalih menegakkan hukum atau mudahnya Aparat Penegak Hukum (APH) menangkap pejabat penyelenggara negara terkait kebijakan keuangan atau pun kesalahan administrasi sangat mempengaruhi keberlangsungan proses pembangunan di suatu daerah.
Share it:
Ir. Said Assagaff
Ambon, Dharapos.com
Fakta adanya penegak hukum yang mencari cari kesalahan aparat lain dengan dalih menegakkan hukum atau mudahnya Aparat Penegak Hukum (APH) menangkap pejabat penyelenggara negara terkait kebijakan keuangan atau pun kesalahan administrasi sangat mempengaruhi keberlangsungan proses pembangunan di suatu daerah.

Karena, hal ini menyebabkan kegamangan bagi pejabat penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya mengeksekusi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), yang secara psikologis turut mempengaruhi “niat baik” aparat jujur untuk mendedikasikan dirinya untuk kemajuan pembangunan disekitarnya.

Demikian ungkapan Gubernur dalam sambutannya, yang dibacakan Staf Ahli Lutfi Rumbia, dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Daerah tingkat Provinsi Maluku, yang berlangsung di lantai VI kantor Gubernur Maluku, Selasa (01/12).

Jelasnya, hal tersebut terindikasi dari data penyerapan anggaran di seluruh lapisan yang begitu kecil, merupakan buah dari rasa “was-was” aparat jujur untuk memilih lebih baik tidak berbuat sesuatu dibanding berbuat sesuatu tetapi akan terkena kriminalisasi korupsi, sehingga mengakibatkan terhambatnya pengeluaran pemerintah terutama pengeluaran modal yang pada akhirnya akan menghambat kemajuan perekonomian baik di tingkat pusat maupun daerah.

Dikatakan, melihat kondisi ini, Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan agar kesalahan administrasi keuangan tidak langsung ditangani oleh APH.

Kesalahan ini harus ditangani terlebih dahulu oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau pun Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) untuk dilakukan upaya perbaikan.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberi waktu kepada BPK/APIP selama enam puluh hari untuk menyelesaikannya. Apabila melewati waktu tersebut belum terselesaikan dan terdapat indikasi tindak pidana korupsi maka barulah APH dapat menanganinya.

Selain, tingkat penyerapan anggaran yang rendah,  pengelolaan Keuangan Desa menjadi salah satu isu strategis pada Pemerintahan Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Hal ini tercermin dari salah satu poin Nawa Cita yang menyebutkan “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”.

Bagi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah khususnya Inspektorat Kabupaten/kota.
Menurutnya, kondisi ini harus menjadi perhatian tersendiri. Sesuai khitah-nya, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) harus hadir untuk memberi keyakinan tujuan organisasi dapat tercapai melalui efektivitas tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian intern.

Undang-Undang yang ada telah mengatur bahwa mekanisme pengelolaan keuangan desa saat ini mirip dengan mekanisme pengelolaan APBD Provinsi/ kabupaten/kota. Demikian juga dengan manajemen asetnya.

“Dengan cepat kita segera berpikir, pengelolaan APBD provinsi/kota/kabupaten yang didukung dengan SDM yang lebih baik dan berpengalaman saja masih sering terjadi penyimpangan, bagaimana dengan di desa yang kapasitas SDMnya sangat terbatas,”tuturnya

Bebernya, ada beberapa risiko yang dapat terjadi dalam pengelolaan keuangan desa tingkat entitas pemerintahan desa antara lain, program dan Kegiatan pada RPJMDes, RKPDes,dan APBDes tidak sesuai aspirasi/kebutuhan masyarakat desa, kegagalan menyelenggarakan Siklus Pengelolaan Keuangan Desa yang sehat, kegagalan atau keterlambatan penyusunan Laporan penyelenggaraan pemerintah desa, termasuk laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDes, pengelolaan aset desa yang tidak efisien dan efektif.

Selain itu, dapat pula terjadi risiko kecurangan (fraud) dalam pengelolan keuangan desa, antara lain, penggunaan kas desa secara tidak sah, Mark up dan atau Kick Back pada Pengadaan Barang/Jasa, penggunaan aset desa untuk kepentingan pribadi Aparat Desa secara tidak Sah dan pungutan Liar Layanan Desa.

“Risiko-risiko di atas hanyalah sebagian dari risiko yang dapat muncul dalam pengelolaan Keuangan Desa. Masih banyak risiko yang mungkin muncul dalam pengelolaan keuangan desa. Selain itu, perbedaan karakteristik dan strategic planning masing-masing desa juga dapat mengubah daftar risiko tersebut,”pungkasnya.

(rr)
Share it:

Utama

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi