News Ticker

Lucipara, Sekeping Surga di Laut Banda - Maluku

Share it:


Oleh Uya Leurima - Jurnalis Maluku

Menyembul dari kedalaman laut di atas 8 ribu meter, gugusan pulau-pulau kecil itu tampak seperti mengapung. Tidak terbayangkan, di tengah belantara laut yang luas dan begitu dalam, terhampar fenomena alam yang menakjubkan. Keberadaan pulau-pulau tidak berpenghuni ini, seperti sekeping surga yang terjatuh di atas palung Laut Banda. Walau terkucil dan menjadi sasaran amuk ombak musim timur, karakteristiknya yang unik, memancarkan pesona bahari yang eksotis, wah.


Itulah Kepulauan Lucipara. Sepintas kelihatan ramah, tapi sebenarnya berbahaya. Dan ini telah dirasakan oleh armada Portugis dalam pengembaraannya mencari pusat rempah-rempah di Maluku pada abad pertengahan. Sebuah armada Portugis yang dinakhodai Fransisco Serrao kandas di salah satu gosongnya yang terbenam dalam laut. Boleh jadi, sejak saat itu, kawasan ini disebut Lucipara sebagai plesetan dari kata Lucifer yang berarti hantu, setidaknya hantu bagi Fransisco Serrao dan anak buahnya.

Terbentang di 5.4943 LS (Lintang Selatan) dan 27.5423 LU (Lintang Utara), Lucipara dan Kepulauan Penyu (Pulau Tiga) terukur berjarak 50 km. Foto citra satelit menampakkan bentuk Lucipara seperti seekor teripang berwarna putih bintik hijau. Warna putih memang dominan karena karakteristik wilayahnya didominasi pasir putih halus dan karang mati seluas mata memandang. Karang keras yang teridentifikasi dari jenis Acropora spp., Sinularia sp., dan Lobophytum sp ini, mensuksesi gosong datar menyerupai oase di padang pasir.

Gosong pasir atau daratan yang terkurung dan menjorok ke laut, berwarna putih dan menyilaukan diterpa matahari. Bentukan geografi seperti ini terjadi akibat adanya aliran dangkal dan sempit yang memungkinkan terjadi pengendapan karang dan mengarah pada pendangkalan tubuh air. Di sini terdapat sebuah gosong yang terendam setinggi kurang lebih 4 meter. Kemungkinan di tempat itulah kapal Fransisco Serrao kandas. Gosong yang mirip pulau tenggelam begini, memang berbahaya bagi aktivitas pelayaran.

Keajaiban terjadi di saat pasang. Air naik setinggi pinggang orang dewasa (0,5 – 2 meter) membentuk empat pulau kecil yang terpisah tidak jauh. Beragam biota laut dan ikan karang bergerombol mencari makan tanpa terusik. Kala surut, air menyusut antara 300 – 500 meter, menyisakan sedikit gosong di bibir palung yang berwarna biru kehitaman. Beragam jenis karang dan biota laut jenis bivalvia seperti kima (Tridacna spp) dan molusca tersebar cukup rapat di sini. Nelayan Ambon kerap mengambil isi kima sebagai makanan, sebagian dibawa pulang. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke pulau dari sini.

Penyu Hijau (Chelonia mydas) terdapat dalam jumlah besar, namun kebanyakan bertelur dan memamah biak pada pesisir pulau di bagian utara dan selatan. Sekarang ini, eksistensinya kian terancam akibat illegal hunting selama puluhan tahun. Nelayan Ambon menuding pemburu asal Sulawesi dan Nusa Tenggara sebagai predator utama. Ironisnya, sampai pada pertengahan tahun lalu, masih dijumpai penangkar-penangkar illegal di sejumlah titik. Diperkirakan ribuan telur hewan yang dilindungi dibawa keluar setiap minggu.

Pulau Laponda ditumbuhi pepohonan pantai dan pohon kelapa hasil perkebunan nelayan Latuhalat dan Laha, Kota Ambon. Meskipun bodinya kurus, pohon pemasok air minum alternatif ini berbuah lebat dan rasanya manis menyegarkan. Posisi pulau ini berada di tengah dan menjadi tempat persinggahan favorit. Dari sini, pelancong dapat memantau tiga buah pulau yang berjejer tidak jauh. Suhu panas pasir putih, cukup untuk merubah kulit putih jadi coklat dalam beberapa jam berjemur.

Pulau-pulau karang ini disuksesi vegetasi karang dan pepohonan pantai. Kawasan ini begitu berharga karena menjadi tempat peristirahatan dan bersarang burung-burung laut, termasuk Greater Elang Laut yang bersarang di pulau bagian selatan dan Pulau Penyu. Sebuah laporan menyebutkan pada tahun 1981, sedikitnya 30 ribu telur burung di kawasan ini dikumpulkan dan dijual di Kota Ambon. Walau begitu, kendati masih diburu, sampai sekarang, ribuan ekor burung masih terlihat bergerombol di salah satu pohon besar yang tumbuh di pulau imut seluas lapangan bola volley. Burung-burung ini biasanya beterbangan ketika didekati manusia.

Para penyelam professional yang dibawa mantan Pangdam XVI Pattimura Mayjen TNI M. Noer Muis dan Gubernur Maluku Brigjen TNI (Purn) Karel Albert Ralahalu semula ragu menyelami alam bawah lautnya. Hal ini dimaklumi karena areal menyelamnya berwarna biru kehitaman. Saat diselami, justru kekuatiran berbuah kekaguman. Rasa penat usai melakukan perjalanan selama 6 jam dari Ambon dengan kapal cepat 20 knot, terbayar dengan pemandangan bawah laut yang indah, mengagumkan sekaligus sensional.


Ada sebuah sensasi yang mungkin tidak ditemukan di tempat lain. Sensasi itu berasal dari bayangan hitam pekat menyerupai lobang hitam di luar angkasa (hole) yang berada di bagian belakang punggung penyelam. Kendati mendebarkan, pesona warna-warni bunga karang yang dilihat mengalahkan bayangan hitam yang menyeramkan. Airnya yang sangat jernih, menyebabkan jarak pandang menembus level 30 meter. Arus laut kelihatannya cukup bersahabat.

Kawasan ini ternyata menyimpan sumber daya ikan yang berlimpah. Ini terdeteksi dari hasil pancing M. Noer Muis yang kini menjabat Pangdam Bukit Barisan dan Gubernur Ralahalu di atas KM Siwalima, kapal cepat milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku. Dalam dua kali putaran, belasan ikan jenis Tuna Madidihang, Tuna Yellowfin dan Tuna Sirip Biru berhasil di tangkap. Perairan ini nampaknya cocok untuk fishing games atau fishing sport (olahraga memancing) bagi pelancong yang suka bertualang di laut bebas.

Hanya saja, perairan di sekitar sini tidak selamanya bersahabat. Pada bulan-bulan tertentu, lautnya bergolak dan sulit ditembus dengan kapal-kapal cepat. Andai kawasan ini bisa didatangi dengan helikopter, tentu menyenangkan melihat gemuruh ombak bergulung-gulung menyapu gosong pasir yang sangat luas. Boleh jadi, tipe ombak di sini cocok untuk berselancar, namun belum ada laporan tentang itu.

Kabarnya, seperti dilansir Antara, LIPI Ambon berencana melakukan konservasi sekaligus rehabilitasi terhadap kawasan ini pada Oktober 2010. Meskipun kesannya terlambat, namun lebih baik dari pada tidak sama sekali. Disebut terlambat karena ancaman terhadap kawasan konservasi yang berjarak 200 km dari Pulau Ambon ini, terjadi setiap saat. Pengeboman ikan, pencurian penyu dan biota laut yang dilindungi, terus berlangsung tapi tidak ditindak.

Ada baiknya, LIPI Ambon bersinergi dengan Pemprov Maluku membangun Segitiga Emas Ambon – Banda – Lucipara sebagai wisata selam berbasis konservasi kelas dunia di Maluku, sesuai obsesi Gubernur Ralahalu. Dalam daftar kawasan konservasi di Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Kepulauan Lucipara dan Penyu tercatat dalam barisan Suaka Margasatwa. Namun fakta membuktikan, penghancuran terus terjadi dan dibiarkan terjadi.

Bupati Seram Bagian Barat (SBB) Bob Puttileihalat mengklaim kepulauan ini masuk dalam wilayah administrasinya, berdasarkan lampiran UU Pemekaran Kabupaten SBT, SBB dan Aru Nomor 40 Tahun 2004. Hal ini membingungkan lantaran geografis wilayah ini lebih dekat dengan Kota Ambon. Kepulauan Banda Kabupaten Malteng, Buru Selatan (Bursel) dan Maluku Barat Daya (MBD). Sudah begitu, sejak dulu, kawasan ini menjadi lahan mencari nafkah nelayan Ambon, ditandai dengan adanya perkebunan kelapa di sejumlah pulau. Jadi, sangat tepat Pemprov Maluku mengambil alih pengelolaan kawasan ini ketimbang SBB yang berjarak 300 km (Ambon hanya 200 km) dan hanya berbekal sebuah lampiran asal tulis tanpa kajian. (*)
Share it:

Feature

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi