News Ticker

Perjuangan Berakhir Manis Tiga Mahasiswa STIS Tual

M. Muzni Wokanubun salah satu Dosen pada perguruan tinggi STIS Tual menceritakan kisah tentang tiga mahasiswi yang diasuhnya selama menimbah ilmu di k
Share it:

Yomima Sairdekut, Suyati Owandiri dan Helena Dewi Sirwutubun

Langgur, Dharapos.com
- M. Muzni Wokanubun salah satu Dosen pada perguruan tinggi STIS Tual menceritakan kisah tentang tiga mahasiswi yang diasuhnya selama menimbah ilmu di kampus tersebut.

Kepada media ini lewat Aplikasi WatshApp, Rabu (24/11/2021), Musni sapaan akrab pria yang digelar mahasiswanya dengan sebutan Dosen Kece menjelaskan bahwa dirinya menulis sebuah cerita yang dibukukan tentang kisah tiga mahasiswa yang diasuhnya selama mereka berkuliah.

Ketiga mahasiswa dimaksud yakni Mima, Dewi dan Suyati yang lulus pada 2017 lalu dalam generasi angkatan ke 13 STIS Tual.

Dikatakan Muzni, manusia tidak pernah bisa memilih takdir sendiri, lahir dari siapa? Orang seperti apa? Kaya atau miskin?

Tetapi setiap orang diberikan kesempatan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

"Kata Tuhan, Aku tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka yang mengubah nasibnya sendiri. (Ar-Rad Ayat 11)," ungkapnya.

Orang kaya itu adalah mereka yang berpengetahuan serta berbudi sedangkan orang miskin adalah mereka yang tidak berpengetahuan tidak berbudi.

Jelas bahwa kaya yang dimaksud bukan berarti banyaknya harta berupa uang atau materi lainnya tetapi ilmu pengetahuan dan budi pekerti yang bermanfaat untuk orang banyak paparnya.

Satu-satunya jalan untuk memperoleh pengetahuan dan budi pekerti itu adalah pendidikan. Karena pendidikan yang baik akan memberi harapan dan kebahagiaan.

Harapan untuk mengubah nasib, meraih cita-cita, menggapai impian, menuju masa depan yang lebih baik.

Sebagaimana kata bijak "Pendidikan yang baik adalah fondasi untuk masa depan yang lebih baik".

Setidaknya itu yang terpatri kuat dalam diri Mima, Dewi dan Yati yang saat itu tercatat sebagai Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi STIS Tual Angkatan XIII Tahun 2013.

Muzni kemudian mengawali kisahnya tentang perempuan yang bernama Mima yang kala itu berkuliah dengan hasil dari pendapatannya sendiri.

"Perempuan itu bernama lengkap Yomima Sairdekut. Dia biasa dipanggil Mima. Walaupun mengalami keterbatasan ekonomi serta mahalnya biaya pendidikan tidak membuatnya menyerah dengan keadaan, tetap berjuang,” kisahnya.

Mima meyakini kalau kegagalan terbesar adalah ketika dirinya berhenti berjuang.

Dia maju, pantang mundur dan tetap semangat, bertekad melanjutkan kuliah, jangan sampai gagal.

Pilihannya adalah kuliah sambil bekerja sebagai petugas kebersihan pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Maluku Tenggara.

Kegigihan, semangat dan kerja keras Mima dalam menuntut ilmu patut diacungi jempol.

“Hal yang paling saya ingat adalah pada satu semester dia tidak pernah absen. Mima merupakan tipe mahasiswa rajin menuntaskan semua hal yang ditugaskan di kelas. Hal yang menjadi kekaguman banyak orang adalah bahwa ia tetap bersahaja. Gelar sarjana yang diperoleh tidak mengubah dirinya menjadi orang yang berbeda,” puji Muzni.

Setelah menamatkan kuliah dia masih kembali melanjutkan pekerjaanya. Padahal, pilihan pada bidang kerja lainnya tersedia.

Muzni juga menceritakan tentang mahasiswinya yang dianggapnya matang dalam semua hal pada saat semasa kuliah.

Sosok yang dia maksudkan, Helena Dewi Sirwutubun.

Dia orang yang sangat berbeda. Penuh bakat dan bersahabat. Sewaktu masih kuliah, Dewi tercatat sebagai mahasiswa yang paling senior, matang dengan usia biologis, dan waktu itu dia sudah menikah.

Itu sebabnya di kampus dia lebih akrab dipanggil dengan sebutan Bunda Dewi.

Kelebihannya, Dewi punya kemampuan hebat dalam hal membangun relasi. Bukan itu saja, dia juga memiliki bakat entreprener alias berdagang, mengelola kantin di kampus.

“Kepada saya dia pernah bercerita kalau usahanya berjualan itu untuk sangat menunjang biaya kuliah. Tetapi saya yakin, suport energi terbesar adalah dukungan keluarga, suami dan anak,” cetus sang Dosen Kece.

Usaha dan kerja keras Dewi pada akhirnya berbuah manis. Dia berhasil meraih gelar sarjana pada bidang ilmu komunikasi dan sekarang ini bekerja sebagai jurnalis pada Surat Kabar Dhara Pos Maluku dan juga Humas Malra di daerahnya.

Dia benar-benar mengamalkan ilmu yang didapat di kelas, sekaligus memberi bukti kalau pendidikan dapat mengubah banyak hal menjadi lebih baik.

M. Muzni Wokanubun, Dosen STIS Tual
Di kelas yang sama ada mahasiswa yang bernama Suyati Owanditi. Lebih akrab dipanggil Yati.

Dia anak yatim piatu, kedua orang tuanya telah meninggal dunia.

Di kampus dia termasuk mahasiswa yang paling diingat oleh semua orang.

Perawakan Yati biasa-biasa saja, bahkan di kelas dia dikenal sangat pendiam, berbicara hanya seperlunya, singkat padat jelas, tetapi rajin tebar senyum, mengakrapi siapa saja yang dijumpai.

Dia dikenal semua orang bahwa ke kampus pulang pergi selalu sendirian berjalan kaki.

Tak ada yang tahu alasan dia berjalan kaki, walaupun mungkin ada saja yang penasaran tetapi tidak ada yang berani bertanya.

Hanya diketahui bahwa Yati hari-harinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT), dia juga terdata sebagai mahasiswa kurang mampu. Namun begitu api semangatnya untuk menuntut ilmu selalu berkobar.

Melihat tekadnya yang kuat penuh semangat dalam situasi dan kondisi seperti itu orang-orang merasa iba sekaligus kagum, sesekali mereka memberikan bantuan.

Kini Yati telah menamatkan studi dan kembali ke kampung halaman.

“Kabar yang saya dapat dari sahabat terdekanya bahwa dia sekarang ini mengadu nasib di Merauke, tanah Papua. Semua orang berharap, semoga di sana dia bisa mengubah kegelapan dengan masa depan yang penuh cahaya,” harapnya.

Muzni menjelaskan kisah perjuangan menuju sukses seperti diatas juga terjadi juga di tempat lain.

Cerita yang paling populer yaitu kisah Birul Qodriah, putri buruh tani yang berhasil meraih mimpi kuliah dan meraih beasiswa bidikmisi di UGM.

Atau kisah Muhammad Wiskha Al Hafidih Suskalanggeng anak pemulung yang mewujudkan mimpinya masuk Fakultas Kedokteran di kampus yang sama.

Sungguh kisah yang sangat menginspirasi.

Muzni mengaku jadi teringat pernyataan seorang Don Quixote tokoh yang selalu melawan arus kehidupan, dikisahkan oleh Miguel de Corventes (Novelis Spanyol) dalam karyanya berjudul Don Quixote de la Manca:

Memimpikan impian yang mustahil,

Menempuh jalan yang tak berani dilalui orang berani,

Mencapai bintang yang tak terjangkau,

Itulah cita-citaku.

Mereka (Mima, Dewi dan Suyati) membuktikan bahwa kesuksesan bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang diperoleh secara gratis, tetapi membutuhkan perjuangan dan kerja keras.

Mereka mengajarkan kepada kita tentang satu keyakinan bahwa tidak ada kebehasilan masa kini, jika tidak ada perjuangan masa lalu.

Hidup kadang diperhadapkan dengan hal yang terasa sulit dan mustahil tetapi dibutuhkan tekad, keyakinan dan kerja keras.

Bagiku, mereka adalah adalah orang-orang yang berhasil mengubah mimpi menjadi kenyataan. Man Jadda wajada. Siapa yang bersungguh sunguh, dia akan berhasil.

M. Muzni Wokanubun, bukan saja berprofesi sebagai dosen tetapi pernah menjabat sebagai Ketua Panwaslu Kecamatan Dullah Selatan Kota Tual.

Ia juga  pernah juga menjabat sebagai Ketua Pemuda Muhamadiyah Kota Tual.

(*)

Share it:

Berita Pilihan Redaksi

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi