News Ticker

Dinilai Tak Benar, Kapolres Malra Diminta Usut Skripsi Soal Mel Ren Iri

Keberadaan skripsi berjudul “Perbedaan Strata Sosial Sebagai Penghalang Nikah” yang disusun Syarifudin Yakub Uar guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi) pada 2011 lalu belakangan ini mulai memicu reaksi dari sejumlah pihak yang keberatan atas karya tersebut.
Share it:
Tokoh Masyarakat Banda El, Hasan Tamarwut saat menyampaikan pernyataan 
Langgur, Dharapos.com
Keberadaan skripsi berjudul “Perbedaan Strata Sosial Sebagai Penghalang Nikah” yang disusun Syarifudin Yakub Uar guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi) pada 2011 lalu belakangan ini mulai memicu reaksi dari sejumlah pihak yang keberatan atas karya tersebut.

Syarifudin yang saat itu menempuh pendidikan pada Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang, mendasari penulisannya dengan melakukan studi kasus di Desa Banda Ely, Kecamatan Kei Besar Utara Timur, Kabupaten Maluku Tenggara.

Fakta inilah yang kemudian dipersoalkan masyarakat adat Banda El.

Salah satu tokoh masyarakat setempat, Hasan Tamarwut menilai apa yang diuraikan Syahrifudin Yakub Uar pada skripsi tersebut sangat bertolak belakang dengan fakta yang ada sebagaimana tatanan budaya Kei yang sesungguhnya.

“Yang kami sesalkan saudara Syarifudin bukannya menguraikan sesuatu yang benar tentang Mel, Ren, Iri tentang perkawinan tetapi malah sebaliknya yang bersangkutan mengkhianati adat budaya Kei sedangkan Latupati atau tokoh-tokoh adat Kei saja tidak berani menceritakan persoalan tersebut,” sesalnya.

Menurutnya, skripsi ini hanyalah sebuah skenario yang sengaja dibuat untuk menghancurkan adat budaya Kei khususnya di Banda El.

“Karena dalam kehidupan leluhur kami sejak jaman dulu hingga sekarang ini tidak pernah ada pertengkaran Mel Ren Iri itu, karena sudah di sumpah dengan adat,” lanjutnya.

Tamarwut juga menegaskan bahwa beberapa marga yang tertera dalam skripsi tersebut bukan orang Banda El tetapi jelas-jelas asli orang Banda seperti Salamun, Uar, Rumra, Latar dan Borut.

Dia juga mempersoalkan penulisan masalah 4 Raja dan 3 iman yang sebenarnya tidak ada dalam sejarah Banda El.

“Artinya dengan fakta ini membuktikan mereka bukan orang Kei, karena dalam penulisan bahwa Rat Lebetel, juga Rat At itu sudah salah bahkan Raja Ampat. Ini sudah lari jauh sekali karena di dunia ini semua tahu bahwa Raja Ampat itu di Sorong, Papua,” bebernya.

Selain itu juga, di daratan El tidak mengenal adanya 3 iman sebagaimana yang biasa disebut orang Banda Ely serta juga agama.

“Jadi semuanya sudah jelas, tapi kenapa  saudara Syarifudin berani membuat tafsiran yang sengaja ingin menghancurkan adat budaya Kei (Evav, red),” kembali tanyanya.

Kapolres Malra AKBP Agus Riyanto saat berdialog dengan masyarakat adat Banda El
Begitu pula mengenai pembagian wilayah di Banda El, pihaknya juga menyesalkan apa yang dituliskan karena sebagai anak adat yang punya hak waris ternyata dalam skripsi tersebut sebagai pihak yang tidak mendapatkan satu pun bagian.

Dia kemudian mencontohkan salah satu kutipan dalam uraian skripsi tersebut seperti Iman diberikan hak untuk marga Salamun, tuan tanah untuk marga Uar sedangkan orang kaya (Kades) marga latar.

“Padahal marga-marga ini bukan merupakan masyarakat asli Banda El tetapi mereka adalah kaum pendatang sehingga uraian ini sama sekali tidak benar,” kembali tegasnya.  

Lebih lanjut, diungkapkan Tamarwut, kedatangan nenek moyang Banda Ely di daratan El bukan dengan pakaian di badan, tapi dengan cawat.

“Tapi setelah mereka tinggal malah ingin merebut hak waris kami, padahal mereka pendatang dari Banda, mana ada hak warisnya? Seharusnya mereka kembali saja ke tanah asalnya di pulau Banda dan tidak sepantasnya menuntut hak yang bukan miliknya,” kembali ungkapnya.

Atas fakta ini, Tamarwut sangat berharap agar masalah ini bisa diselesaikan dengan baik dan tidak dijadikan sebagai isu untuk menghancurkan tatanan budaya Evav yang telah ditetapkan oleh leluhur.

”Leluhur kami tidak punya pikiran jahat seperti yang dilakukan orang-orang yang tidak selayaknya tinggal di daerah beradat ini,” kecamnya.        

Tamarwut mengibaratkan, penjajahan yang dilakukan oleh Belanda terhadap Indonesia, sama halnya dengan kedatangan orang Banda di bumi El untuk merampas hak masyarakat setempat. Karena sebagai masyarakat pendatang seharusnya mereka menghargai tatanan adat di Banda El, bukannya malah membalikkan fakta yang sebenarnya.

Atas fakta ini, ia meminta Kapolres Maluku Tenggara untuk segera memanggil dan memeriksa saudara Syarifudin Yakub Uar berikut para narasumber dalam penulisan skripsi tersebut masing-masing Drs. Ahmad Salamun, S.Pd, Ahmad Rumra, Hi. Agil Uar, Soleman Uar, mantan pejabat Banda Eli Tukan Latar, serta Brani Borut untuk mempertanggung jawabkan pernyataan mereka yang dinilainya bohong karena telah melukai hati masyarakat adat Banda El.

“Pihak kepolisian harus memanggil oknum-oknum tersebut karena jelas-jelas ulah merekalah yang telah membantu pembuatan penulisan skripsi tersebut,” pintanya.

Tanarwut juga atas nama keluarga besar Rabrusun, Tamarwut, Marwan, dan Madelis serta beberapa marga lainnya meminta Kapolres Malra untuk segera menuntaskan masalah ini.

Sementara itu, terkait persoalan ini masyarakat adat Banda El telah melaporkannya ke pihak Kepolisian Resort Malra pada 29 April lalu saat Kapolres masih dijabat AKBP. Muh R. Ohoirat namun faktanya belum ada tindak lanjut atas penanganan masalah ini.

Karena itu, pihak masyarakat adat Banda El kemudian kembali melaporkan persoalan yang sama kepada Kapolres baru yang kini dijabat AKBP. Agus Riyanto pada Kamis (14/7).

Kepada perwakilan masyarakat adat Banda El, Kapolres pun berjanji untuk segera menindaklanjutinya.

(dp-20)
Share it:

Daerah

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi