News Ticker

Ironi, Hukum Adat Masih Jadi Solusi Tangani Masalah Kriminal

Penegakan aturan bagi perilaku melanggar hukum, idealnya merupakan langkah yang tepat guna memberikan efek jera terhadap para pelaku.
Share it:
IPTU D. Jambormias
Saumlaki, Dharapos.com
Penegakan aturan bagi perilaku melanggar hukum, idealnya merupakan langkah yang tepat guna memberikan efek jera terhadap para pelaku.

Bunyi kalimat ini semestinya menjadi perhatian setiap orang, namun saja terkadang penegakan hukum positif harus luntur dari keinginan para korban yang hendak menyelesaikan persoalan dengan hukum adat.

Masyarakat di era modern, masih saja belum dapat membedakan secara tepat jenis kasus dan pelanggaran yang bisa diselesaikan secara hukum adat, maupun yang perlu diselesaikan dengan penerapan hukum positif.

Realitas ini terjadi di Maluku Tenggara Barat, daerah yang kental dengan tradisi adat Duan dan Lolat.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Kepolisian Sektor Tanimbar Selatan IPTU D. Jambormias  saat ditemui Dhara Pos di ruang kerjanya, Sabtu (21/3).

Dia menjelaskan bahwa sejumlah penyakit sosial yang terjadi di kecamatan Tansel selama awal tahun 2015 ini dinilai cukup melambung ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

Sejumlah kasus tersebut seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan kekerasan terhadap anak dibawah umur. Meskipun sejumlah kasus tersebut telah ditangani oleh penyidik kepolisian namun lebih cepat diatasi, oleh karena para korban lebih memilih untuk menyelesaikan masalah yang di hadapinya dengan tradisi adat istiadat.

Selain itu adapula kasus KDRT antara suami dan istri namun tidak dapat diproses lebih lanjut karena para pasutri yang belum secara sah diakui oleh pemerintah dan agama melalaui pernikahan.

“Contohnya kemarin ada kasus KDRT yang terjadi di desa Olilit, dimana akhirnya kita arahkan ke pasal 351 oleh karena suami-istri ini belum menikah. Nah, ini kendala yang kami temukan di wilayah hukum Tansel, dimana banyak sudara-sudara kita yang tidak menikah selama bertahun-tahun atau kumpul kebo dan ketika ada KDRT maka kita kesulitan untuk gunakan pasal yang mengatur tentang KDRT. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah meskipun sudah harus kita gunakan pasal lain namun akhirnya kasusnya ditarik kembali oleh sang pelapor dan diselesaikan secara adat,” bebernya.

Selain kasus KDRT di desa Olilit, Kapolsek juga banyak berceritera tentang kasus-kasus lain yang terjadi di wilayah hukumnya dan meskipun sejak awal ditangani, para korban sangat kooperatif dan secara tegas menginginkan agar dipercepat proses hukumnya, hanya saja kondisi tersebut hanya bertahan selama satu atau dua hari, oleh karena para korban sudah bersepakat di bawah tangan untuk menyelasaikan secara hukum adat.

Atas realitas yang sangat memprihatinkan tersebut, belum lama ini telah dilakukan upaya penyadaran hukum melalui penandatanganan MoU antara Kapolsek dengan Camat, Lurah dan seluruh kepala desa di wilayah kecamatan Tansel terhadap upaya penanganan bersama proses percepatan pernikahan sejumlah pasutri yang belum menikah secara agama maupun nikah sipil namun telah hidup bersama selam bertahun-tahun.

Langkah pertama yang telah dilakukan pasca penandatanganan MoU tersebut adalah pendataan sejumlah Kepala Keluarga yang belum menikah di setiap desa untuk kemudian akan diproses nikah masal dalam waktu dekat.

Jambormias mengakui jika proses ini awalnya berjalan dengan baik karena adanya dukungan baik dengan pemerintah desa dan Pemerintah kecamatan namun hingga kini belum berhasil menekan angka pasangan kumpul kebo di kecamatan tersebut.

Dirinya berharap ke depan ada pemahaman masyarakat untuk lebih menyelesaikan masalah dengan menggunakan hukum positif yang sudah pasti membuat efek jera bagi para pelaku ketimbang hanya menyelesaikan masalah secara tradisi adat dimana nilai kekeluargaan lebih diutamakan.

(dp-18)
Share it:

Feature

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi