News Ticker

Diduga Aktor Utamanya, LBH BIFI Desak Kejati Maluku Periksa Temmar

Dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) Dana Alokasi Khusus Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) Tahun 2010 senilai Rp 7,2 Milyar semenjak tahun 2012 lalu telah ditangani Kejaksaan Tinggi Maluku dan hingga kini masih terus bergulir.
Share it:
Eduardus Futwembun,SH
Ambon, Dharapos.com
Dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) Dana Alokasi Khusus Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) Tahun 2010 senilai Rp 7,2 Milyar semenjak tahun 2012 lalu telah ditangani Kejaksaan Tinggi Maluku dan hingga kini masih terus bergulir.

Kasus korupsi yang juga menyeret nama sejumlah pejabat di MTB seperti Kadis Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Frans X. Sura, Kadis. Keuangan, Dina Biri, PPTK SD John Watumlawar dan PPTK SMP Chris Weredity bersama Direktur CV Haluan Mandiri, Fredy Sandana itu seakan tidak lengkap jika belum diketahui siapa aktor utama dibalik pencairan Dana yang bersumber dari APBN tersebut.

Nama Bupati MTB Drs. Bitzael S. Temmar kini muncul dalam pembelaan atau pledoi terdakwa Frans X. Sura, beberapa waktu lalu di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Ambon.

Bupati Temmar ternyata memiliki peranan penting dalam proses pencairan DAK tahun 2010 tersebut tanpa dokumen lengkap bahkan diduga kuat sarat rekayasa. Sura akhirnya buka-bukaan karena tidak puas dengan tuntutan 3 tahun dan 4 bulan pidana penjara dari Jaksa Penuntut Umum.

Dalam keterangannya kepada redaksi Dhara Pos melalui telepon selularnya, Jumat siang (12/12), Sura menilai JPU tebang pilih dalam penanganan kasus tersebut karena semestinya Bupati Temmar perlu diproses pula dalam kasus itu.

Dirinya lebih banyak membeberkan soal isi pledoi yang disampaikan kepada majelis hakim Tipikor dan telah dimuat pula pada sejumlah media lokal di kota Ambon beberapa hari lalu.

“Proses pekerjaan 3 paket yang dimenangkan oleh Fredy Sandana itu kan atas petunjuk dan perintah MTB satu. Khusus pencairan dana, saya merasa bahwa ada yang kurang jelas yaitu dimana JPU tidak terlalu jeli. Pengajuan SPM itu baru tanggal 14 Desember sementara SP2D seperti penjelasan dari keuangan bahwa dilakukan pada tanggal 6 Desember dan itu mereka keluarkan untuk seluruh dana DAK,” beber Sura.

Setelah dianalisa dari proses SP2D dan SPM yang dikeluarkan itu mestinya seluruh dana DAK kalau pengajuan di atas 6 Desember sudah tidak bisa lagi.

“Atas fakta tersebut saya minta Kejaksaan untuk meninjau kembali atau mengusut tuntas kasus ini karena saya lihat ini ada permainan dan saya dijebak dalam kasus ini. Setelah penyelidikan baru saya tahu bahwa tanggal 6 Desember itu meskipun SPM belum saya tandatangani namun dana sudah dikeluarkan dari kas daerah,” tuturnya.

Sura mengakui jika dirinya baru mengetahui dengan pasti pada saat proses penyelidikan jika sebelum dirinya menandatangani SPM, dana tersebut sudah dikeluarkan mendahului dari kas daerah pada tanggal 6 Desember dengan alasan utama yakni dibuat tanggal mundur untuk memantau pencairan dana DAK.
Alasan Pemkab MTB saat itu, menurut dia merupakan bentuk manipulasi data yang telah dibuat Pemkab MTB terhadap Kementrian Keuangan RI.

Seperti dalam pledoinya pada persidangan beberapa hari lalu, Sura pun akhirnya membeberkan soal keterlibatan Bupati Temmar yang mengambil peran sebagai aktor utama dari penentuan pelaksanaan proyek hingga pencairan.

Hal ini dimulai dari sekitar akhir Agustus 2010 dimana saat itu Direktur CV. Haluan Mandiri Fredy Sandana menemui dirinya di kantor Dikpora MTB dan mengaku bahwa tiga paket proyek DAK seperti pengadaan buku perpustakaan SD dan SMP serta pengadaan alat peraga SMP tersebut telah disetujui Bupati Temmar untuk nantinya dikerjakan oleh CV. Haluan Mandiri.

Namun, jawaban yang kurang memuaskan Sura kepada Sandana mengakibatkan Sandana pun menemui Bupati yang saat itu berada di Ambon.

“Jadi rupanya di Pemda MTB itu sudah menjadi budaya bahwa sebelum proses tender sebuah proyek, sudah ada penentuan atau penunjukan kontraktor-kontraktor yang akan melaksanakan pekerjaan. Saya baru tahu karena saat itu saya baru pindah dari NTT dan menjabat sebagai Kadis selama sebulan. Jadi proyek fisik itu sudah ditentukan oleh beliau-beliau di atas.” bebernya.

Setelah menemui Bupati Temmar di Ambon, Sandana dan Bupati Temmar akhirnya menelpon dirinya yang saat itu sedang mengikuti Rakor Kemendiknas di Makasar.

Pembicaraan segitiga antara Bupati Temmar, Sandana dan dirinya diakuinya bahwa terjadi pada saat Bupati Temmar dan Sandana sedang dalam perjalanan ke Masohi dengan menggunakan kapal cepat dalam rangka konsolidasi PDI Perjuangan dan inti pembicaraan tersebut, Bupati Temmar mengarahkan untuk pekerjaan itu harus dikerjakan oleh Sandana.

Sebagai bawahan, Sura mengaku akhirnya melaksanakan perintah pimpinannya itu meskipun belakangan baru diketahui jika penentuan paket proyek itu hanya untuk memuluskan rencana politik Temmar yang saat itu tengah mempersiapkan diri untuk kembali maju dalam bursa perebutan kursi MTB 1 periode 2012-2017 dengan menggunakan partai-partai yang tergabung dalam koalisi Galaxi.
Fredy Sandana yang adalah Ketua PAC PDIP Tansel saat itu juga bertindak sebagai Tim khusus dan penyandang dana untuk membiayai proses pencalonan Temmar.

“Fredy Sandana menyampaikan kepada saya bahwa dana Rp. 1 Milyar itu sudah diberikan kepada Bupati Temmar. Kemudian dia juga sebagai penyandang dana atas pencalonan Drs. Bitsael Temmar sebagai calon bupati dan pasangannya dan ini saya juga dapat penuturan sumber terpercaya bahwa dana itu sudah dipakai untuk proses pencalonan itu,” paparnya.

Keterangan ini ternyata juga telah dia sampaikan pada saat pemeriksaan awal oleh Luky Kubela- Jaksa penyidik  dan telah dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) namun ternyata bocor hingga ke tangan Bupati Temmar.

Atas bocornya BAP ini kemudian Sura dipanggil oleh Piet Rangkoratat – Kepala Inspektorat MTB dan karena adanya tekanan dan ketakutan, Sura pun kembali mencabut pernyataannya  seperti yang tertuang dalam BAP tersebut.

Dia berharap fakta persidangan yang dia beberkan pada saat persidangan pekan kemarin terkait keterlibatan Bupati Temmar hendaknya diusut tuntas oleh Kejaksaan sehingga rasa keadilan itu bisa terwujud.

Kepada Dharapos, Ketua Lembaga Bantuan Hukum dan Posbakumadin Buana Informasi MTB, Eduardus Futwembun,SH mendesak Kepala Kejati Maluku untuk menggunakan pledoi Frans X. Sura sebagai novum baru karena Sura telah menjelaskan proses kejahatan berantai yang telah menggurita di birokrasi MTB secara masif dan terstruktur selama ini.

LBH menilai Frans Sura hanya dijadikan sebagai sapi perah dalam kasus ini dengan demikian fakta hukum yang dibeberkannya dalam persidangan sudah jelas bagi pihak Kejaksaan untuk tidak lagi bersandiwara dengan kasus yang dilakukan oleh para penjahat kemanusiaan di daerah julukan Duan dan Lolat itu.

“Beberapa hari lalu Frans Sura mendatangi kantor kami dan sudah banyak menjelaskan kasus itu. Tentang pembagian dana ini Frans Sura mengaku jika dia diberikan  Rp. 400.000.000,- namun total dana itu dia sudah kembalikan ke pihak Kejaksaan. Toh kalau ada bukti persidangan yang dibeberkan Sura tentang keterlibatan Bupati Temmar dalam penentuan proyek hingga mendapat aliran dana Rp. 1 Milyar , itu hal yang sangat memalukan dan harus diproses tanpa pandang buluh,” tegasnya.

Futwembun mendesak Kajati Maluku untuk memberlakukan semua orang sama di depan hukum tanpa pandang buluh termasuk orang nomor satu di MTB tersebut perlu dibidik keterlibatannya dalam kasus raibnya milyaran rupiah dana DAK tahun 2010 tersebut.

LBH juga mendesak agar perlunya penyidikan khusus terhadap bocornya BAP ke tangan Bupati yang diduga kuat dilakukan oleh oknum jaksa penyidik.

”Misalnya tuntutan para Jaksa di Saumlaki terhadap kasus-kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh masyarakat itu mencapai 13 tahun penjara. nah saya pikir kalau kasus pemerkosaan hanya dirasakan oleh satu orang dengan keluarganya saja sementara kasus korupsi karena meraup semua uang rakyat maka ini merupakan kejahatan kemanusiaan dan perlu di tindak tegas tanpa pandang buluh dengan hukuman yang lebih berat,” desaknya.

Futwembun mengancam bakal melaporkan persoalan tersebut ke Kepala Kejaksaan Agung RI dan atau Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta jika dalam waktu dekat novum Frans Sura itu tidak di tindaklanjuti.

Karena itu Futwembun minta korps Adhyaksa untuk menerapkan hukum secara objektif, tanpa diskriminatif sehingga publik dapat menilai bahwa orientasi penegakan hukum itu betul-betul menyentuh substansinya.

Untuk diketahui dugaan korupsi DAK pendidikan MTB ini sudah lama bergulir semenjak 2012 lalu. Proyek DAK Kabupaten MTB Tahun 2010 senilai Rp 7,2 Milyar ini bersumber dari APBN, yang diperuntukkan bagi 18 Sekolah Dasar (SD) dan 18 Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten MTB. Proyek yang terbagi dalam tiga paket ini ditangani oleh CV. Haluan Mandiri dengan direkturnya Freddy Sandana.

Saat tim penyidik Kejati Maluku melakukan penyelidikan terungkap bahwa, pengadaan buku yang seharusnya diperuntukkan kepada masing-masing sekolah sebanyak 4000 buku di luar buku pelajaran, ternyata tidak mencukupi jumlah itu.

Begitu pula dengan alat peraga. 4000 buku yang harusnya diterima masing-masing sekolah penerima, berupa buku pemberdayaan perpustakaan ditambah dengan buku-buku masing-masing mata pelajaran namun ternyata tidak mencukupi.

Ada fakta menarik ketika tim penyidik melakukan pemeriksaan terhadap empat sekolah di Kota Saumlaki masing-masing SD Naskat Ilngei, SD Don Bosco, SMP Negeri 5 dan SMP Negeri 9 ditemukan penyaluran barang tidak berdasarkan berita acara yang ditandatangani oleh pihak sekolah.

Berita acara serah terima barang pun tidak dilakukan saat barang diserahkan melainkan pihak Dinas Pendidikan MTB menyuruh Kepala SD dan SMP melakukan penandatanganan di kantor dinas. Saat penandatanganan itu, pihak dinas hanya mengatakan barang-barang akan diantar kemudian, sehingga pihak sekolah hanya menunggu saja.

(dp/ajr)
Share it:

Utama

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi