News Ticker

Seonggokan Sampah Yang Kotor Menjadi Indah Dan Bernilai

Kemampuan seorang perempuan Papua asal pulau Numfor, Kabupaten Biak, Provinsi Papua yang selama ini menghabiskan waktunya di kampung Nuni, Distrik Manokwari Utara, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat patut diapresiasi.
Share it:
Elisabeth Bonsapia dan sejumlah hasil karyanya
Manokwari, Dharapos.com
Kemampuan seorang perempuan Papua asal pulau Numfor, Kabupaten Biak, Provinsi Papua yang selama ini menghabiskan waktunya di kampung Nuni, Distrik Manokwari Utara, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat patut diapresiasi.

Pasalnya, Elisabeth Bonsapia demikian nama lengkapnya, yang lokasi tempat tinggalnya berjarak lebih kurang 20 Km dari ibukota kabupaten, memiliki keahlian untuk mengubah sesuatu yang sudah menjadi sampah (tak bernilai-red) menjadi sesuatu yang indah dan bernilai.

Kru Dharapos.com pada Selasa (25/11), berkesempatan mengunjungi kampung Nuni, menggunakan kendaraan roda empat dengan menempuh perjalanan melewati empat kampung yang dikelilingi hutan.

Saat tiba di Nuni, kru Dharapos.com langsung menemui mama Elisabeth sebagaimana biasanya ia disapa keluarga maupun kerabatnya.

Ternyata, setiap harinya, mama Elisabeth hanya menghabiskan waktu di rumah untuk membuat kerajinan tangan.  Walaupun bahan-bahan yang ia gunakan hanyalah bahan yang sebenarnya sudah dibuang alias tidak terpakai lagi.

Namun, apa yang sudah dianggap sampah tersebut, oleh ibu empat orang anak ini mampu diubah menjadi suatu karya tangan yang indah dan bernilai harga.

“Saya kerja barang ini sudah berlangsung selama 5 tahun,” ungkapnya sambil menunjukkan berbagai buah karya yang telah dihasilkan.

Kemampuan yang dimilikinya, diakui mama Elisabeth, bukan merupakan keahlian turun temurun dari orang tua atau moyangnya.

“Tuhan yang kasih hikmat untuk saya bisa kerjakan semua ini,” terangnya 

Berbagai aneka kerajinan yang dia buat diantaranya, tempat persembahan dari tempurung kelapa, pot bunga, tempat pena, rumah kaki saribu yang merupakan rumah adat suku Mea yang dibuat kayu atau rotan, bra dari kulit kayu, dan kapal layar dari tempurung kelapa.

Namun, diakui mama Elisabeth, hasil kerajinan tangan yang dia buat selam ini  tidak pernah di pasarkan karena selain tidak memiliki relasi yang dapat membantunya, sampai saat ini juga Pemerintah daerah setempat tidak memperhatikan atau minimal memberikan bantuan kepadanya.

Bahkan, dana yang di pakai untuk membeli alat-alat pendukung dalam membuat kerajinan, seperti gergaji, lem, paku, baut kecil, pernis, maupun cat adalah sisa dari hasil uang sayur yang ia jual sembari membantu suaminya mencukupi kebutuhan sehari-hari dan kelangsungan hidup keluarganya.

“Suami saya seorang sopir taksi,” sambungnya.

Selain kerajinan tangan, ternyata masih ada lagi keahlian lain yang dimiliki mama Elisabeth yang tidak kalah manfaatnya.

Ia juga pandai meramu minyak urut yang bahannya diambil dari tumbuhan yang tumbuh pada bebatuan di dasar laut yang merupakan ramuan tradisional adat Papua sejak dari leluhurnya.

“Dia (minyak-red) punya khasiat bisa untuk obat sakit gula, kaki patah, keseleo dan lain-lain,” jelasnya.

Mungkin potensi yang dimiliki mama Elisabeth, hanya satu contoh kecil yang mewakili puluhan, ratusan bahkan ribuan potensi lainnya yang selama ini terpendam, tersimpan, belum pernah terungkap, apalagi tersentuh tangan para penguasa di negeri ini.

Olehnya itu, diharapkan kepada Pemerintah Daerah untuk tidak hanya terpaku kepada kegiatan pembangunan infrastruktur, namun sudah saat untuk mulai menggali potensi-potensi yang dimiliki masyarakatnya sendiri.

Karena jika potensi-potensi ini dikelola dengan baik maka tentunya akan sangat berdampak bagi masyarakat sendiri. Yang intinya, dapat membantu, memperbaiki bahkan mendukung kehidupan masyarakat demi mencapai sejahtera.  

(Harlet)
Share it:

PAPUA

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi