News Ticker

Pilpres 2014, PMKRI Minta Semua pihak Hormati Mandat Rakyat

Pemilihan Umum 2014 sebagai bagian integral dari proses demokrasi politik nasional pasca era orde baru, baik pemilihan anggota legislatif (DPR, DPRD dan DPD) maupun pemilihan presiden (pilpres), 9 Juli 2014 menjadi titik klimaks dari dinamika dan konstelasi politik serta hingar-bingar pesta demokrasi lima tahunan.
Share it:
Simon Lolonlun & Lidya N. Sartono
Saumlaki, 
Pemilihan  Umum 2014 sebagai bagian integral dari proses demokrasi politik nasional pasca era orde baru, baik pemilihan anggota legislatif (DPR, DPRD dan DPD) maupun pemilihan presiden (pilpres), 9 Juli 2014 menjadi titik klimaks dari dinamika dan konstelasi politik serta hingar-bingar pesta demokrasi lima tahunan.

Atas amanat dan keluhuran nurani seluruh rakyat Indonesia yang menggunakan hak politisnya, lahirlah pemimpin-pemimpin baru baik di legislatif dan bahkan di tingkat eksekutif tertinggi, Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Semua pemimpin adalah representasi dari amanat dan kehendak rakyat, sehingga legitimasi kekuasaan yang bersumber dari kedaulatan rakyat harus sungguh-sungguh dijaga, diperjuangkan dan diimplementasikan secara riil melalui kebijakan-kebijakan pro rakyat.

Hal itu disampaikan Ketua Presidium Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI), Lidya Natalia Sartono seperti dilansir dalam siaran pers Ketua Presidium Dewan Pimpinan Cabang Saumlaki, Simon Lolonlun kepada Dharapos, Rabu (9/7).

Menanggapi berbagai bentuk persaingan dan perbedaan pandangan serta latar belakang dukungan selama proses Pemilu berlangsung, Lidya mengharapkan agar perbedaan dan pluralitas itu harus dimaknai secara positif sebagai kekuatan bersama untuk membangun soliditas dan solidaritas kebangsaan, keutuhan Negara Kasatuan Republik Indonesia serta jiwa Nasionalis yang menjunjung tinggi Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD 1945 dan sebagai falsafah Bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

Menurutnya, pluralitas dan diversitas menjadi warna tersendiri dalam sejarah bangsa Indonesia termasuk dalam setiap moment Pemilihan Umum. Semuanya harus terajut dan bersandar pada nilai-nilai luhur Pancasila dan prinsip Bhineka Tunggal Ika.

Siapa pun pemimpinnya baik di tingkat legislatif maupun eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) merupakan representasi dari aspirasi dan pilihan nurani seluruh rakyat Indonesia. Maka dari itu, Pemimpin diharapkan mampu mengemban amanat seluruh rakyat Indonesia dan menunjukkan eksistensi dan integritas bangsa yang bermartabat, berperikemanusiaan, dan berkeadilan sosial dalam seluruh aspek hidup berbangsa dan bernegara.

“Pemimpin jangan sekali-kali menggunakan manusia sebagai alat,melainkan harus selalu sebagai tujuan dari tindakan,karena kemanusiaan yang terwujud di dalam dirinya adalah sesuatu yang luhur dan bermartabat,” tegas Lidya.

Ia menambahkan bahwa para pemimpin yang baru agar perlu menghindari egoisme politik di tengah situasi ‘transisi politis’ seperti sekarang ini di mana strategi konkrit dengan terciptanya koalisi antar-partai politik (parpol) dan bahkan intervensi non-partai dari berbagai kalangan dan latar belakang, tidak serta merta menimbulkan konflik nasional dan dilema publik yang dapat mengancam disintegrasi bangsa.

“Ruang konsolidasi demokrasi mesti menjadi pilihan dari konsekuensi konstelasi politik bagi para pemimpin yang baru demi menjaga integritas bangsa serta meningkatkan kredibilitas publik yang cenderung dicederai oleh kultur pragmatisme. Pemimpin yang pragmatis dapat menciptakan sikap apatis bagi masyarakat,” tambah Lidya.

Ruang demokrasi, lanjutny a, juga telah melibatkan partisipasi masyarakat terhadap hak politik namun segenap masyarakat Indonesia diharapkan tidak larut dalam euphoria yang berlebihan dan bersama seluruh penyelenggara Pemilu dari daerah hingga ke Pusat harus terus mengawal hasil rekapitulasi perolehan suara bagai kedua Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden hingga ditetapkan secara resmi oleh KPU Pusat. Semoga situasi tetap kondusif, aman, damai dan demokratis.

Menyangkut harapan bagi perubahan Indonesia ke depan, menurut Lidya, berbagai perubahan dalam setiap elemen dan sendi kehidupan bangsa masih menjadi keprihatinan sosial.

“Bagi pemimpin dengan kekuasaan dan otoritas yang dimiliki, harus menjadi kekuatan integral dan inheren dalam berbagai elemen sosial, budaya, hukum, ekonomi, politik, pemerintahan, agama dan bangsa/negara. Kekuasaan, dengan ini melegitimasi eksistensi para pemimpin dalam menentukan kebijakan dan menjaga stabilitas publik secara nasional,” katanya.

Lebih lanjut, Lidya menegaskan pemimpin harus membawa perubahan riil di tengah berbagai kondisi ketimpangan sosial masyarakat. Pemimpin harus bertindak sebagai perancang dan pelaku sejarah (homo actor mundi) baik masa lampau, masa kini dan terutama masa yang akan datang.

Pemilu 2014 telah menjadi hari besar dalam sejarah bangsa Indonesia dengan lahirnya pemimpin-pemimpin baru. Maka para pemimpin tidak boleh “lupa” bahwa keluhuran martabatnya sebagai pemimpin adalah juga lahir dari dalam diri manusia yang luhur dan bermartabat melalui hak-hak politiknya.

“Pemimpin hendaknya mengingat dan mengutamakan hak-hak politik masyarakat ketimbang popularitas dan kekuasaan,” pungkasnya. (dp)
Share it:

Utama

Masukan Komentar Anda:

0 comments:

terima kasih telah memberikan komentar

Berita Pilihan Redaksi